Edy Rahmayadi vs Coky dan Arogansi Kekuasaan
Ramai menjadi perbincangan, dalam sebuah acara penyerahan hadiah untuk pelatih dan atlet peraih medali PON, Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi menjewer salah pelatih hanya karena tidak tepuk tangan. Hal yang aneh dan sepele sebenarnya.
Salah satu sikap kekanak-kanakan adalah sikap arogan. Merasa diri paling dan gila hormat.
Beberapa sifat dan pernyataannya yang memang mempertontonkan keadaan ini adalah.
Masalah aspal rumah dinas gubernur. Ia mengatakan, hanya 2 M, 100 M pun dilakukan, membandingkan dengan istana. Padahal belum lama ada pembicaraan rakyatnya mengadu pada Presiden Jokowi jalannya rusak minta dibangun.
Pemimpin yang bijak dan terutama dewasa tentu berpikir untuk publik, bukan kegagahannya sendiri dulu. Aneh dan ajaib pokoknya.
Jeweran sayang. Orang menjewer di depan umum, memanggil yang bersangkutan naik panggung untuk dijewer, diusir, dan tidak usah dipakai lagi itu bukan sayang. Tanda marah.
Bahasa ngeles yang tidak elok. Lagi-lagi memperlihatkan ketidakdewasaan. Bagaimana pribadi dewasa tidak akan bersikap demikian. Teguran bukan mempermalukan dan juga sikap membangun. Mana ada konstruktifnya ketika secara keseluruhan tidak memperlihatkan sikap positif.
Tidak ditepuktangai memang mengurangi mutu dia? Seharusnya tidak. Kecuali orang yang masih dalam pencarian jati diri dan juga gila hormat.
Sedikit banyak biar Edy Rahmayadi belajar, bahwa ia itu pemimpin sipil, bukan pemimpin pasukan. Sejatinya tidak jauh berbeda juga sih. Hanya saja sistem komando mau tidak mau bahwa komandan pasti benar. Berbeda dengan sipil. Apalagi beda afiliasi politik.
Perbedaan itu hal yang wajar bagi pribadi dewasa. Kelihatan masih kekanak-kanakan ketika mudah marah, gila hormat, dan baperan. Lha hanya tepuk tangan saja kog ribut.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan