Egoisme Spiritual, Khas Kekanak-kanakan dalam Beragama
Dulu, era 90-an, kita bercanda soal beragama itu hal yang wajar. Tidak ada kemarahan apalagi demo berjilid-jilid. Reformasi membawa dampak buruk memang harus kita akui iya, terutama dalam beragama. Gairah beragama memang menggembirakan, namun hanya lamis, chasing, bukan esensial sebagaimana seharusnya.
Pluralisme, keberagaman itu kodrati. Mak dan paklah yang melahirkan anak, bukan homogen. Pak dan pak atau mak dan mak tidak akan jadi anak. keberagaman itu sebuah keniscayaan, yang memaksakan untuk sama itu omong kosong dan malah menghianati kodrat dari Allah.
Yogja mengadakan mengaji di jalan. Hal yang ironis, ketika di Jawa Barat ada kebaktian di ruang tertutup, privat, malah dibubarkan, karena merasa terganggu pihak yang gede. Kebenaran adalah ketika si kecil nurut dan gede memaksakan kehendak dengan bebas dan leluasa.
Penceramah mengatakan, orang Kristen jelek-jelek karena makan daging babi dan anjing. Kemarin, sepulang dari menerima sakramen rekonsiliasi, si sopir angkutan kota mampir beli RW. Ia muslim, saya sudah tobat tidak lagi makan daging anjing lebih lima tahun, toh masih juga cakep.
Pengajaran agama kog menjelek-jelekkan pihak lain dan itu sangat tidak mendasar. Cakepan saya juga dari si penceramah. Tidak ada kaitan agama dengan muka cakep dan juga makanan. Perlu belajar dan dolan lebih jauh. Faktanya model demikian digemari.
Ada lagi yang mengatakan, menjadi Kristen diajari seperti hewan. Hubungan badan seperti hewan. Mereka lupa, bahwa biarawan dan biarawati itu selibat. Tidak berhubungan badan. Dasarnya menyomot dari Roma 40. Padahal Kitab Roma tidak ada 20 bab, artinya ia memark-up jumlah bab lebih dari dua kali lipat. Kalau ayat sih masih wajar. Eh masih mengaku alumni Vatikan.
Hanya menjual kebencian, apa itu yang namanya beragama, spiritualitas mendalam? Sepertinya bukan deh.
Penceramah lain mengatakan, orang Nasrani banyak yang tidak sadar menyembah patung. Padahal dari sisi yang identik, ketika dikatakan menyembah batu, Kabah, bisa dipastikan akan berjilid-jilid demo dan ngamuk. Hanya melihat simbol pihak lain, tanpa mau tahu keadaan sendiri seperti apa. lagi-lagi kebencian dan perbedaan yang dibesar-besarkan.
Negara ini dasarnya Pancasila. Semua diakui dan seharusnya sama, setara. Namun apa yang terjadi, ada yang bisa mengaji di jalanan, dan ketika ada parade salib saja ada yang mengatakan, mengganggu iman santrinya. Standart ganda yang miris sebenarnya bagi umat beragama. Parameternya seharusnya adalah Pancasila, bukan agamaku atau agamamu.
Penegakan hukum yang lemah. Aparat hukum masih takut pada agama, tokoh agama, dan surga neraka. Padahal dasar negara ini bukan agama. Ini yang harus disadari dulu oleh penegak hukum. Lha menghadapi teroris yang menabrak kantornya saja menggunakan istilah pemahaman agama yang sedikit berbeda. Radikal bukan sedikit berbeda. Ini sangat permisif, membuat pelaku lain merasa mendapat angin.
Hidup religius, beragama, spiritualitas itu akan membuat makin penuh kasih, damai, meneduhkan, bukan malah caci maki yang keluar dari mulutnya. Rendah hati bukan malah merasa diri paling benar dan hebat. Semua proses dan perjuangan.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan