FPI Gaya Baru

FPI Gaya Baru

Memilukan dan miris, ketika penegak hukum malah mlempem, orang seenak jidatnya mengatasnamakan organisasinya mengintimidasi masyarakat lain. Beberapa waktu terakhir ormas yang terkena imbasnya adalah PP. Pemuda Pancasila, minimal ada tiga tayangan yang cukup viral di media sosial.

Pertama, ada orang yang melanggar jalan searah dan merasa lebih berhak dengan mengatasnamakan ormas ini.  Biasa  minta maaf, namun minta maafnya ke organisasinya, bukan sebagai penyebab masalah yang viral.

Kedua, ini keknya preman yang menyamar dengan baju ormas. Ia memalak sopir truk dengan mengutip uang atas nama lewat jalan kekuasaannya. Arogan, memaki, dan sejenisnya. Identik.

Ketiga, ngerinya adalah kepala desa. Sampai mengusir warganya karena melaporkan tindakan pungli di sekolah dasar negeri. Seorang pimpinan desa, tentu tidak etis memaki dan mengusir warganya dengan seragam ormasnya. Bagaimana ia bersikap sebagai kepala desa, namun malah seolah mengintimidasi menggunakan atribut ormas.

Mengingatkan dulu arogansi dan di atas hukum itu dilakukan FPI dengan sweepingnya. Mereka sudah punah karena tindakan yang sangat terlambat, usai banyak kejadian sampai mengorbankan nyawa. Eh kini hadir lagi dengan konteks yang berbeda.

PP sebagai ormas, menggunakan Pancasila pula sebagai nama, harusnya jauh lebih bijak, taat aturan, dan tidak menggunakan bahasa kasar, arogan, dan merasa di atas hukum. Apa yang terjadi beberapa kali tersebut, tentu masih akan banyak kisah senada, fenomena gunung es. Mengapa bisa demikian?

Satu, penyelesaian  yang begitu-begitu saja. Garang pas bertikai, nanti saat meminta maaf karena pasti didamprat pimpinan di atasnya, melempem kek krupuk kesiram sambel, seperti seblak. Penyelesaian yang selalu terulang dan tidak akan ada efek jera karena akan diulang di tempat dan waktu yang berbeda.

Minta maaf itu sebuah keagungan, namun bukan sekadar lamis dan terus saja terulang. Bagaimana bisa demikian banyak kejadian yang sama, maaf dan selesai, namun perulangan terus saja terjadi.

Dua, salah paham dan paham yang salah itu dua konteks yang berbeda banget. Salah paham itu adanya perbedaan pemahaman, kalau paham yang salah itu, sudah tahu kalau keliru namun merasa benar. bahasa bagus namun dipakai untuk mengelabui. Selalu saja kata salah paham, maaf, dan sejenisnya yang dipakai. Apalagi dibumbui orang beragama, beriman itu bla…bla.. mbelgedhes.

Perlu disadari banyak penyelesaian masalah di lingkungan kita itu salah. Tidak memperbaiki keadaan, malah memperparah di masa depan. Sama juga dengan pembubaran ibadah agama lain yang selalu terulang.

Tiga, terlalu toleran pada tindakan bodoh, konyol, dan arogan atas nama mayoritas, ormas tertentu, dan juga kekerasan mengatasnamakan agama atau kelompok yang sama. Marah, ketika pelakunya berbeda atau malah berlawanan. Ini miris, bagaimana bisa berbangsa berperilaku munafik seperti ini, padahal mengaku negara Pancasila dan beragama pula.

Empat. Terlalu lamis. Munafik lebih tepatnya. Agama sekadar menjadi kedok, atribut, dan juga label keamanan. Perilakunya malah jauh dari ajaran agama. Tertib hukum jelas tuntunan agama, namun mengapa hidup tidak tertib justru banyak dilakukan orang beragama di negeri ini?

PP harus mau memperbaiki diri, tidak malah hanya mengatakan oknum atau meminta maaf semata. Perbaikan kader, anggota, dan pimpinannya untuk menjaga martabat Pancasila. Penegakkan hukum layak diterapkan dengan benar, tidak terus toleran pada keberadaan perilaku bar-bar.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan