Ndhasmu, Goblok, Bahasa Kekerasan di Puncak Kekuasaan

Ndhasmu, Goblok, Bahasa Kekerasan di Puncak Kekuasaan

Miris, bahasa-bahasa  yang sejatinya tidak layak diucapkan oleh orang tua, dewasa, apalagi pejabat, kelas tinggi lagi. Cukup sering terdengar ungkapan ini di media social, hal yang seharusnya tidak ada di dalam dunia nyata. Eh malah faktanya demikian. Masih ditingkahi dengan tawa terbahak oleh orang di sekitarnya.

Mengapa bisa demikian?

Pertama, arogansi oleh pihak yang mengatakan, mau goblok, ndhasmu, atau umpatan apapun itu. Sikap yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang-orang pada level top di negeri yang konon adiluhung ini. Di mana Pancasila, jika ada manusia arogan seperti ini menjadi pemimpin tertinggi?

Kedua, merendahkan. Lagi-lagi Pancasila yang menjadi parameter. Keadilan sosialnya di mana, merendahkan manusia lain tidak ada pada tempatnya, jika berkaca pada konteks ini. Apalagi kemanusiaan yang adil dan beradab.

Di mana adabnya? Jika manusia lain dimaki seperti itu. Dikatakan ndhasmu hanya karena melakukan kritik?

Belum lagi jika bicara adil. Wajar rakyat mengkritik pemimpinnya. Kan alam demokrasi, bukan otoriter. Tugas pemimpin memang tidak mudah, dan wajar rakyatnya memberikan koreksi dan masukkan.

Kemanusiaannya di mana? Teriak-teriak HAM, eh hanya dikritik saja keluar ndasmu, eh ada jualanya  malah digoblok-goblokin.

Ketiga, candaan kekerasan, makian, dan celaan jelas bukan candaan berkelas. Itu ecek-ecek. Model Srimulat yang meledek kekurangan fisik sendiri jelas lebih berkelas, apalagi model stand up comedy, jauh lebih berkelas dari pada candaan Prabowo atau staf khususnya Miftah.

Keempat,  emosional. Sikap yang kekanak-kanakan dalam merespons sesuatu. Hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh orang tua, dewasa, apalagi pejabat di muka publik.

Wajar, ketika ada orang mengatakan bahwa Tuhan tidak adil, langsung saja dijotosi, dikeroyok, konon menistakan Tuhan. Orang bicara saja dihakimi dan dihajar, jelas ada yang keliru.

Kelima, kekerasan, baik perkataan atau perilaku berangkat dari kurangnya otak dalam mencerna dan mengelola, sehingga apa yang dilakukan itu tidak melalui saringan terlebih dahulu.

Lagi-lagi cerminan kurangnya pengendalian diri. Perlu aktivitas spiritual yang lebih lagi, tidak sekadar ritual. Sudah diawali dengan retret pula, hanya sekadar seremoni.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan