Ganjar dan Suksesnya Menangani Pungli

Ganjar dan Suksesnya Menangani Pungli

SMA-SMK Negeri Se-Jateng kini tidak ada lagi piknik, study tour, atau kunjungan kerja atau industri. Perintah dinas pendidikan yang tidak berani dilanggar oleh kepala sekolah. Mengapa sih namanya juga piknik, untuk SMK kunjungan industri itu juga penting dilarang?

Pertama, di balik keren dan akademiknya nama wisata, piknik, study tour, atau kunjungan industri, sebenarnya ada juga upaya atau istilahnya pungli. Contoh kasus, pelaku agen perjalanan mengatakan, jika ada kepala sekolah meminta motor kelas 25 jutaan jika mereka mau mengantar anak-anak sekolahnya ke Bali.

Kepala sekolah motor, waka sekolah, guru yang mendampingi, uang saku mereka? Bisa dibayangkan berapa ongkos yang harus dibayar tiap peserta, di luar akomodasi dan uang saku mereka? Hanya untuk gaya hidup oknum di sekolah yang mengaku orang tua itu. Apa iya pihak biro mau kerja bakti, jelas tidak.   

Kedua, di atas itu salah satu kasus yang pernah terdengar, tentu saja masih banyak kasus yang tidak terdengar dengan kisah yang berbeda. Pungutan yang menggunakan  istilah agamis, sodaqoh, infaq, dan sebagainya. Ini Ganjar juga pernah menangkap basah guru sekolah dasar yang mengadakan pungutan dengan istilah bahasa Arab. Oleh Ganjar, wo nek jenengan guru SMA wis tak hiiih, eh guru itu malah ngakak.

Ketiga, pungli itu sejatinya ngeri, tapi dianggap biasa saja, contoh point kedua, ketika ketangkap Ganjar langsung masih ngakak. Beberapa pihak juga menganggap pungutan itu sebagai bagian dari beaya pendidikan. Padahal tidak demikian adanya.

Keempat, pungutan yang tidak wajar, di luar kebutuhan, namun mengada-ada. Beberapa sekolah  sekarang mengadakan jas untuk siswa-siswinya, karena seragam dan seragam olah raga jelas sudah terpantau dalam pengawasan, tidak mungkin bermain di sana. Nah dengan jas ini kan bisa memainkan harga. Inilah pungli, urgensinya juga apa dengan jas?

Kelima, kreatif dalam menciptakan peluang. Sayang kreatifitas itu dalam konteks nyolong, menciptakan keuntungan sendiri, dan mengorbankan pihak lain. berbagai cara diupayakan untuk bisa tidak ada pungli, toh masih saja ada cara untuk mendapatkan keuntungan.

Dulu paling recehan dengan menjual kalender, setiap tahun. Lama-lama berkembang, dan makin mahal. Masih bisa dimaklumi kala  guru gajinya susah, kini sudah makin sejahtera, eh nafsu untuk ngemplang masih juga.

Keenam. Begitu rumitnya kamuflase dalam menciptakan peluang bisa menyulitkan dalam  menyelesaikan. Lihat saja Ganjar perlu tahun kesepuluh baru bisa    melarang wisata ini. beda dengan jembatan timbang yang awal pemerintahannya langsung tiarap ketika ia menangkap tangan sopir menyerahkan upeti.

Budaya permisif, ungkapan terima kasih, dan bentuk-bentuk pemberian itu beralih rupa menjadi suap dan kini meningkap menjadi pungli. Sangat susah karena dimaknai dengan cara yang berbeda. Ada yang mengatakan rezeki dari Pencipta, oli pembangunan, dan  sejenisnya.

Apakah tidak mau berhenti seperti terobosan Ganjar ini?  Semua bisa asal mau dan bertindak tegas.  Sebenarnya sederhana kog, kehendak baik.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply