Meng-SBY-kan Jokowi
Meng-SBY-kan Jokowi
Menarik, ketika satu demi satu kasus korupsi ditangani dan dilaporkan Kejaksaan Agung akhir-akhir ini, bukan ke KPK. Padahal dulu semua urusan korupsi KPK saja. Lebih menggelitik ketika hadir narasi meng-SBY-kan Jokowi. Kasus demi kasus korupsi yang terkuak di akhir masa jabatan Jokowi seolah identik dengan masa kepemimpinan SBY.
Beberapa kasus itu adalah, kasus korupsi BTS Kominfo yang menyeret adik kandung menteri terkait. Kejaksaan Agung sudah memeriksa dan menjadikan tersangka dari Bakti Kominfo. Publik banyak berhrap ikut menyeret Menkominfo karena urusan politik tentu lebih kuat.
Paling menghebohkan jelas kasus dugaan aliran ilegal dana di Kemenkeu yang mencapai 300 T yang terungkap karena kasus kekerasan anak yang menyeret jajaran Ditjend Pajak. Menyusul kekayaan luar biasa pejabat Bea dan Cukai. PPATK, KPK, dan Kemenkeu berkolaborasi dalam kontrol Menkopolhukam Mahfud MD yang sangat gigih mengungkap kasus ini.
Sangat mungkin masih banyak kementerian, lembaga negara, atau jajaran di daerah juga memiliki perilaku sebagaimana BUMN, atau Ditjen di bawah Kemenkeu itu. Hal yang tidak mengagetkan, wong memang korupsi ini seolah tabiat yang berkelindan dengan banyak kepentingan dan lembaga, organisasi, pun politik.
Demokratisasi yang tidak dibarengi dengan kesiapan SDM dalam berpegang teguh pada prinsip membuat korupsi makin marak. Raja-raja kecil karena bupati-walikota yang memegang penuh kendali kabupaten-kota membuat jual beli jabatan, perizinan, dan aneka bentuk mendapatkan uang sangat terbuka.
SBY-JKW
Mungkin kasus demi kasus korupsi di masa akhir jabatan ini identik. Namun ada beberapa hal menarik yang perlu dicermati, apakah bisa JKW diSBYkan?
Pertama, kasus korupsi itu bukan tiba-tiba ada, misalnya, era SBY sudah bersih kemudian timbul kembali pada masa JKW, tidak demikian. Semua pemerintahan menghadapi persoalan yang sama, identik, sebangun, dan sama.
Artinya, memang persoalan ini sangat klasik dan belum ada pembenahan yang cukup signifikan. Transparansi dengan cara dana ditransfer saja masih bisa kog mengutip keuntungan sendiri. Caranya, ya meminta uang tunai pada penerima. Ini bukan siapa pemimpinnya, namun bagaimana sikap batin para maling berseragam ini.
Kedua. Perbedaan pada penggunaan anggaran. Bagaimana pembangunan era JKW jauh lebih masif dari masa pemerintahan SBY, bahkan ada yang mangkrak sebagaimana Hambalang. Penggunaan anggaran jauh lebih tepat sasaran, meskipun sama-sama banyak maling.
Ketiga, pembangunan jauh lebih merata, dampaknya dirasakan oleh khalayak ramai, bukan sekadar Jawa atau kota semata. Desa-desa sekarang jauh lebih baik sarana prasarana. Jalanan dicor dengan padat karya atau aspal. Kesenjangan kota dan desa lebih sempit masa kini.
Keempat, korupsi tidak melibatkan elit partai penguasa, berbeda ketika zaman SBY di mana bintang iklan partai mersi sebagian besar masuk bui. Katakan tidak pada (hal) korupsi. Kini, itu semua tidak ada. Lha memang JKW tidak punya partai, bukan elit ataupun pemilik partai.
Kelima, tidak ada orang terdekat JKW yang tersangkut langsung korupsi, sebagaimana besan SBY. Ini fakta hukum, sudah divonis dan itu tidak bisa dibantah. Belum lagi pertanyaan gaya hidup mewah keluarga inti SBY dan hasil dari mananya.
Ketujuh, bedanya dengan dulu adalah, penguasaan kekayaan alam masih tergantung pada pemodal asing. Kini, jauh lebih banyak yang telah menjadi pengelolaan mandiri bangsa Indonesia. Artinya, kekayaan alam itu demi anak negeri sendiri, bukan malah menjadi bancaan elit dan asing.
Kedelapan, subsidi BBM jauh lebih rendah dari masa lalu. Artinya bahwa masyarakat lebih mandiri, bukan manja. Kekuatan nyata masyarakat, bukan semu karena adanya subsidi.
Apa yang terjadi kini dan dulu itu berbeda. Masa sekarang ini, yang meradang, marah, ngambeg itu elit yang biasa pesta pora. Semua itu tidak bisa ketika JKW memegang kendali. Lebih banyak rakyat yang merasakan pembangunan, berbeda dengan zaman SBY.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan