IDI dan Politik Dua Kaki Demokrat

IDI dan Politik Dua Kaki Demokrat

UU Kesehatan sudah diundangkan. Demokrat biasa main politik waton sulaya bersama soulmatenya PKS. Tanpa dasar, namun ngasal menolak saja. Suka atau tidak, lihat saja rekam jejak partai keluarga Yudoyono itu bersikap. UU Ciptaker, UU KPK, KUHP, merekalah yang membuat gaduh.

Keriuhan  dengan menolak ketika ketok palu. Padahal dalam perjalan menjadi UU itu pasti panjang dan mereka ikut terus. Tidak ada penolakan, ketika paripurna dan itu pasti publik, mereka meneriakkan penolakan. Seolah mereka adalah pahlawan yang melawan ketidakadilan.

Padahal mereka pernah memerintah dua periode, apa IDI menjadi sebuah lembaga superior hanya ketika Jokowi presiden? Jelas saja  tidak. Itu sudah bertahun-tahun terjadi. Ke mana mereka selama ini?  Diam saja, tidak tahu harus apa.  Apalagi semboyan  yang selalu didengungkan seribu kawan kurang satu  lawan berlebihan. Maunya menyenangkan semua pihak, malah mangkrak.

Cek saja sudah beredar luas bagaimana Menkes dengar pendapat dengan DPR mengenai keberadaan IDI, dokter spesialis yang susah bertambah karena kolegium yang begitu susah, pendidikan dokter yang terhambat oleh regulasi IDI. Makanya mereka IDI ini yang ngotot untuk menolak keberadaan UU Kesehatan yang baru.

Jika mereka itu berlaku baik, bener, dan wajar mereka pasti tidak akan “melawan” negara. Mereka kan juga bagian dari warga negara, bagian utuh di negeri ini. Malah menjadi   pertanyaan, bahkan boleh dong curiga, mereka begitu ngototnya itu ada apa?

Jika benar untuk melayani dan menyiapkan dunia kesehatan lebih baik, mereka pasti dengan rela hati mempersilakan siapa saja untuk mengelola, memikirkan, dan mengatur itu semua. Ingat jika itu adalah ladang pelayanan dan pengabdian.

Sas-sus yang bicara mengenai uang, bagaimana perizinan, mau izin praktek, buka fakultas, atau spesialisasi, itu juga bicara mengenai uang. Jika tidak ada itu semua, mengapa begitu digdaya, ngotot, dan kekeh dengan keberadaannya. Padahal ngomongnya adalah layanan? Apa bener begitu?

Menarik juga apa yang Demokrat lakukan. Mereka ini    seolah membela rakyat dengan bahasa retorika mereka, namun ke mana mereka ketika kuliah kedokteran begitu mahal. Atau malah maaf ketika mendiang Bu Ani harus ke Singapura untuk berobat, atau SBY juga memeriksakan matanya ke USA? Kog tidak mikir bahwa anak bangsa ini juga mampu, namun terhambat.

Partai politik, politikus itu bervisi bukan sekadar berkuasa, namun bagaimana kekuasaan itu juga berdampak bagi masyarakat. Tidak  hanya memberikan dampak dan keuntungan bagi diri dan keluarganya sendiri. Fasilitas, privilegi, dan juga apa yang melekat dan itu enak. Jika hanya itu fakusnya, untuk apa menjadi pemimpin, penguasa? Negara ini bukan milik pribadi.

Visi dan misi itu penting di sini. Tidak hanya pengin menjadi presiden, namun bagaimana menjadi pemimpin yang bisa memberikan kontribusi  bagi semakin banyak pihak, masyarakat, bukan malah menguntungkan pihak-pihak yang dekat dengannya saja. Miris bukan? Sekian lama hidup di dalam kungkungan egoisme pemimpin negeri ini.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan