Jokowi, Maestro Politik, dan Golkar

Jokowi, Maestro Politik, dan Golkar

Ketum Golkar Airlangga Hartarto mundur dari jabatannya. Prestisius lho ketua umum beringin itu. Kog mundur, hanya ada dua kemungkinan, ketidakpercayaan anggotanya atau faksi lain yang menolak dengan kenceng atau kasus hukum. Kondisi partai besutan Soeharto ini aman dari konflik internal. Faksi-faksi pada diem. Berarti kemungkinan ada kasus yang akan menjeratnya?

Jika benar demikian, ada kasus hukum yang menantikannya di ujung pemerintahan yang ia dukung selama hampir 10 tahun ini, ya ngeri. Tidak mungkin kasus itu mak bedunduk begitu saja datang. Pastinya sudah lama dan seolah menjadi target.

Kepiawaian Jokowi dalam  berpolitik memang layak diacungi jempol. Jempolan luar biasa, sekelas bapak Orba dalam membangun karir politik. Bagaimana bisa partai sebesar Golkar bisa dikangkangin. Mendukung keberadaannya yang dulu pada 2014 posisinya sangat rentan. Suka atau tidak, ini harus diakui, kesampingkan dulu mengenai  etika politik yang terjadi.

Usai pecundangin banteng sampai terkapar, dan kini menghadapi pilkada dengan terengah-engah, giliran beringin yang dikerjain. Sekali lagi jika benar karena kasus hukum, dan itu pastinya sudah lama.

Sedikit banyak ia dimanfaatkan, wong yang memfasilitasi pencalonan Gibran yang masih saja menjadi polemik kan Airlangga. Kartu anggota dengan cepat diperoleh, langsung menggantikan KTA partai banteng. Tanpa adanya peran Airlangga belum tentu cukup kuat dalam pencalonan dalam pilpres.

Kalkulasi politik yang sangat matang oleh Jokowi. Mengapa Jokowi yang menjadi tertuding? Siapa lagi yang memiliki akses, kekuatan, dan juga kemampuan seperti ini? MK, MA, PDI-P terkapar, KPU, dan kini menyusul Golkar. Tampaknya, yang tidak sependapat, atau tidak nyengkuyung gagasannya akan dipentalkan.  Ingat peran ketua KPU yang terpecat karena skandal juga bukan? Padahal di daerah dia juga pelaku dugaan itu. Memang seolah dipelihara untuk dipakai saat yang tepat.

Tentu saja ini opini, analisis, dan ulikan semata. Namun toh ada dasar dan rekam jejak yang cukup bisa dipercaya, tidak sekadar othak-athik gathuk semata.    Sekali lagi, jika benar demikian, ngeri banget, sudah mengesampingkan etika dalam segala hal.

Toh politik esensinya kan memang meraih kekuasaan. Etika tidak sejalan dalam alam demokrasi yang masih tahap belajar. Satu kata, miris.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan