Literasi Membaca dan Keprihatinan Kita

Literasi Membaca dan Keprihatinan Kita

Membaca pemberitaan mengenai keberadaan anak SMP yang tidak bisa membaca, sebenarnya sama dengan pengalaman saya yang menyaksikan anak SMK masih perlu berpikir 6:2. Bapak guru pendampingnya mengatakan, jika waktu ajarnya separo habis untuk mengulang matematika dasar, Pelajaran SD mengenai penjumlahan dan pembagian. Tulisan ini pernah juga saya buat.

Mengapa anak SMP tidak bisa membaca?

Pertama, korban pandemi. Dua tahun anak-anak ini vakum Pendidikan, sehingga mereka terhambat, terjeda selama dua tahun dalam pembelajaran. Hampir bisa diyakini, orang tua juga tidak bisa mengelola pembelajaran dari rumah. Jika penelitian diadakan, kog bisa disimpulkan, jauh lebih banyak dari pada yang dikeluhkan si pendidik tersebut.

Kedua, program  harus naik yang tidak dibarengi dengan kesadaran Pendidikan yang lebih baik. Apa maksudnya? Jika program harus naik itu disadari dengan baik oleh pendidik, mereka akan berusaha keras agar di kelas yang diampunya benar-benar mampu sebagaimana tuntuntan kurikulum. Selama ini tidak demikian yang terjadi di lapangan. Sering saya berdiskusi dengan teman-teman pendidik di sekolah dasar.

Ketiga, sikap tanggung jawab yang rendah. Sikap pendidik yang melepaskan tanggung jawab dengan program pokoknya lepas dari kelasnya. Sikap yang sama juga dimiliki oleh penanggung jawab kelas selanjutnya. Demikian terus, karena juga adanya harus naik kelas di atas.

Keempat, UU yang membuat pendidik terbelenggu, takut Komnas HAM dan Komnas Anak. Dikit-dikit lapor polisi membuat pendidik khawatir langkah Pendidikan yang ia lakukan akan dijadikan pidana. Di lapangan, di sekolah kondisi anak tidak seideal apa yang dipandang para pakar, ketika menyusun UU.

Kelima, kemampuan baca ini belum lagi jika dikaitkan dengan kemampuan mengerti isi bacaan, apalagi jika harus mengaitkan dengan bacaan-bacaan lainnya. Makin memprihatinkan.

Keenam, kebiasaan dan atau habit membaca dari pendidik. Literasi ini lemah karena pendidiknya tidak memiliki kesukaan membaca dulu. Belum lagi jika bicara kebiasaan Masyarakat, yang sangat jauh dari budaya baca.

Ketujuh, tabiat baru dengan gadget. Anak lebih banyak memainkan media social dari pada membaca buku. Lagi-lagi ini berkaitan dengan pembiasaan. Lihat saja keluarga-keluarga lebih asyik dengan layar HP dari pada lembaran buku.

Kedelapan, seorang rekan menuliskan, bahwa pendidik dalam mendampingi anak-anak membaca, hanya menjadi pengawas, menegur yang tidak membaca, atau malah ngobrol. Idealnya, guru ikut membaca, dan kemudian ada tugas atau pertanyaan yang harus dijawab si anak dari bacaan. Bisa juga berupa jurnal atau resume apa yang sudah dibaca.

Masih terlalu jauh harapannya, belum lagi jika berhadapan dengan budaya hafalan yang ada di lingkungan kita. Harapan selalu ada, namun perlu kerja keras dan terutama kehendak kuat.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan