Jokowi Oh Jokowi, Nasibmu Dulu dan Kini

Jokowi Oh Jokowi, Nasibmu Dulu dan Kini

Miris apa yang dialami Presiden RI ketujuh ini, bagaimana tidak, ketika dulu menjabat kepala negara, apapun yang dilakukan selalu saja dicela. Sematan plonga-plongo, boneka, petugas partai, sampai apapun yang diambil sebagai kebijakan akan dicaci-maki. Tidak ada partai yang membelanya sama sekali, seolah kerja sendirian.

Jalan tol sebagai sebuah upaya  pemerataan dikatakan sebagai masyarakat tidak makan jalan tol atau makan semen. Seolah tidak ada partai pengusung, semua oposan. Hampir semua menjadi ahi politik untuk menyudutkan. Ada anak kecil, kebetulan cucu presiden sebelumnya sampai membuat surat untuk mengatasi covid waktu itu. Si anak seturut kakek dan ayahnya maunya lock down. Pilihan pemerintah pembatasan saja.

Setiap wacana, apalagi keputusan selalu saja  menjadi polemik, cenderung politis sih, dari pada benar-benar esensial. Demo besar-besaran beberapa kali terjadi. Elit-elit negeri ini pada terlibat baik langsung atau tidak langsung.

Eh, kini yang dulu begitu getol mengatakan diri sebagai kritikus itu pada diam. Tidak ada lagi suaranya sekecil apapun. Dulu, para “pembelanya” adalah relawan yang berjuang karena merasa satu “nasib” sebagai saudara setara anak bangsa. Mereka berjibaku membela mati-matian untuk menjaga presidennya harus bertahan sampai akhir periode. Begitu banyak serangan untuk menggulingkannya. Jelas dengan bahasa-bahasa yang merendahkan, sebagaimana disebutkan di atas.

Kini, setelah tidak lagi menjabat, eh masih saja cemoohan pada Jokowi, dengan ungkapan sama merendahkannya, Mulyono, Pak Lurah, mau memperpanjang kekuasaan, cawe-cawe dalam pilpres dan pilkada, oligarkhi, dan seterusnya. Anaknya dilabeli samsul, mengekor bapaknya, manfaatin pamannya, Lembaga negara, dan sebagainya.

Mirisnya, pelaku pembullyan ini adalah para pendukungnya dulu garis keras. Kenal beberapa adalah Kompasianer  yang dulu sering bertikai dengan siapa saja kalau ada yang menghina atau merendahkan Jokowi. Kini berbalik marah-marah, dan sama menghujat, mencaci maki, dan menggunakan bahasa sarkasme yang sama. Lagi dan lagi tanpa pembelaan dari siapapun.

Hanya Jokowi yang mengalami itu, presiden-presiden sebelumnya tidak ada yang mengalami seperti itu. Menjabat dan post menjabat masih dihujat. Bisa dibayangkan jika program dan omon-omon Prabowo itu yang melakukan Jokowi  sudah akan banjir hujatan atau nyinyiran, dan sekarang sama sekali tidak ada. Sama sekali.

Makan siang gratis bergizi yang sedang ramai tayangan mau video atau gambar yang memperlihatkan mutu makanan yang sudah beredar. Bisa dibayangkan bagaimana jika itu kebijakan Jokowi atau pemerintahan yang dulu. Bahasa-bahasa kasar, nyinyiran, dan hujatan sangat mungkin menghiasi media dengan lebih kasar dan beragam.

OCCRP yang konon menempatkan Jokowi sebagai presiden terkorup, ada indikasi berasal dari vote. Sangat mungkin, bahwa itu adalah para pendukung yang kecewa. Sebagaimana terlihat dari apa yang dikatakan, dinyatakan, dan dinyinyirin sepanjang 2023- kini. Wajar mereka kecewa, sangat bisa dipahami.

Beberapa pihak, terutama yang menjadi pejabat, Menteri, atau komisaris ya jelas bahwa mereka masih mendukung, dan kini menjadi pendukung yang pernah mereka dulunya maki-maki dan deskreditkan, yaitu Prabowo.

Prabowo

Dulu ketika menjadi    oposan, para pendukungnya 1000 % menyokong Prabowo dan menjadikan Jokowi sebagai serangan apapun isu dan wacananya. Jokowi tanpa pelindung. Kini malah dapat tambahan dari para pendukung Jokowi yang dapat jatah lumayan.

Mau omong apa saja sekarang tidak ada yang nyinyir, contoh mau membuka lahan hutan dan diganti sawit, toh sama-sama hijau. Padahal secara esensial sangat jauh berbeda. Tidak bisa membayangkan, jika itu yang mengatakan bapaknya Gibran berbulan-bulan akan jadi bahan bullyan yang tidak kenal ampun.

Soal mengenakan jas saja pernah riuh rendah sepanjang hari di Kompasiana je. Apalagi hal yang lebih mendasar dan krusial seperti hutan.

SBY

Oposan selama Jokowi, kecuali setahun belakangan saat anaknya AHY mendapat jatah menteri, diam sejuta bahasa. Tidak ada sama sekali ceriwisnya yang selama sembilan tahun     pemerintahan Jokowi ada saja. Pernah tour de java sambil membandingkan prestasinya-capaiannya, dengan apa yang Jokowi lakukan. Ada juga nasihatnya bahwa pemerintah dan Indonesia tidak baik-baik saja, presiden jangan cawe-cawe.

Tagline yang paling melegenda adalah turun gunung dan ketika demo Ahok mengatakan sampai lebaran kuda, demo juga tidak akan pernah bisa dihentikan. Asyiknya era itu adalah, bagaimana barisan SBY dengan Demokratnya sangat lantang bersuara atas apa kebijakan dan capaian Jokowi. Saat tidak bisa mengelak atas prestasi itu akan dikatakan bahwa itu semua adalah hasil kerja partai mercy dan Jokowi hanya tinggal potong pita.

Sejatinya, pergantian yang sangat mulus, tanpa gejolak, pemerintahan yang lebih “stabil”, namun masih ada masalah kekecewaan pada Jokowi, yang diidap oleh para pendukung kelas kakapnya pada Sembilan tahun masa awal pemerintahan.

Hanya Jokowi yang mengalami hal ini. Tidak ada sagtu presiden pun yang mengalami hal yang sama. Pencacinya dulu diam saja, ikut enak sekarang. Pendukungnya yang kecewa berganti menjadi pembully kelas kakap. Sayang, alam  demokrasinya kog jadi begini.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan