PPDB Menjadi SPMB, Istilah Baru, Menyelesaikan Masalah?
PPDB Menjadi SPMB, Istilah Baru, Menyelesaikan Masalah?
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah mengubah system Penerimaan Peserta Didik Baru menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru, lagi-lagi mau memberikan Gambaran, bahwa ganti Menteri ganti kebijakan dalam Pendidikan Nasional benar adanya. Menteri mengatakan begitu indah filosofinya. Tidak ada yang membantah. Namun, mengapa tidak membahas bagaimana kemampuan siswa-siswi, murid, atau peserta didik di lapangan?
Coba cek dan turun ke lapangan, jangan ikuti apa kata kepala dinas atau kepala daerah, kunjungi sekolah pinggiran, bukan sekolah favorit setempat. Tidak perlu terburu-buru menerima hasil PISA atau menolaknya. Sebenarnya sudah banyak video-video yang memperlihatkan betapa mirisnya mutu pengetahuan murid, peserta didik, atau siswa sekolah kita.
Jika saya mengatakan pengalaman pribadi dalam perjumpaan dengan anak-anak sekolah dalam berbagai jenjang, bisa dikatakan tidak atau kurang obyektif, namun begitu banyak pegiat media social yang mengadakan riset kecil-kecilan, toh senada dengan apa yang saya temui. Bisa saja memang itu adalah konten, bisa dicek sendiri oleh para pemangku kebijakan itu.
Pengetahuan umum, matematika sederhana, hanya soal perkalian, pembagian itu mereka masih susah payah, kelas tinggi, menengah atas, bukan sekolah dasar. Itu merata, belum lagi pengetahuan lainnya. Dapat dibayangkan seperti apa ke depannya negeri ini.
Sangat mungkin taraf Kementerian itu tidak akan paham dengan apa yang terjadi di sekolah-sekolah. Contoh di desa ada dua sekolah dasar negeri, bisa jadi satu sekolah membuat dua kelas atau dua rombongan belajar, sekolah lainnya hanya memiliki murid di bawah sepuluh. Mengapa terjadi? Karena dana BOS yang menjadi landasan berpikir menerima murid sehingga rebutan.
Sertifikasi sebagai sarana memberikan kesejahteraan bagi pendidik pun memberikan dampak buruk. Mengapa? Fokus guru pada sertifikasi, sehingga mereka bisa abai untuk mengajar, apalagi mendidik. Mereka disibukkan dengan administrasi, kuliah atau pembekalan, dan tetek bengek lainnya. Waktu mereka untuk siswa habis.
Belum lagi jika bicara mengenai “rebutan” jam mengajar. Atau bisa jadi guru “lari” ke sekolah lain yang lebih menjanjikan jam mengajar atau jumlah siswa yang diasuh. Hal ini terjadi khususnya oleh guru mata pelajaran spesifik, contoh guru agama di daerah minoritas.
Guru-guru tersebut harus memenuhi jam mengajar dan jumlah rombongan belajar yang telah ditentukan. Tentu saja perlu mengamankan keberadaan tunjangan itu. Sangat mungkin terjadi bahwa guru itu pindah sekolah demi mendapatkan jam dan murid.
Ada pula yang menjadikan status ASN atau P3K sebagai hal yang utama. Ketika gagal kemudian nglokro, tidak bersemangat, yang menghambat tugasnya. Sudah lolos abai akan tugas, karena sudah tercapai apa yang dicita-citakan, kurang tidak menjadikan pendidikan dan murid sebagai yang utama.
Beberapa masalah di atas bukan menyoroti keburukan system atau program, tidak juga hanya focus pada masalah atau persoalan, namun fakta di lapangan itu yang terjadi. Seolah-olah baik-baik saja, padahal dampaknya jika berkepanjangan sangat ngeri.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan