Jokowi, Plonga-plongo, Budi Pekerti, dan Penegakan Hukum

Jokowi, Plonga-plongo, Budi Pekerti, dan Penegakan Hukum

Presiden Jokowi dalam sidang tahunan menjelang hari kemerdekaan di MPR mengatakan, ia kerap dikatakan plonga-plongo, bodoh, tidak tahu apa-apa, Firaun, bahkan yang terakhir bajingan, dan ini tidak disebut oleh Presiden. Pribadi yang mengatakan bajingan tolol itu menglaim diri sebagai professor padahal.

Selanjutnya Presiden RI dengan kepuasan public hingga 80% lebih ini mengaku memaafkan yang mengatakan dirinya seperti tersebut di atas, namun sayangnya adalah budaya adiluhung, budi pekerti luhur bangsa ini kog hilang.

Apa yang layak diulik dari pernyataan ini adalah,

Presiden Jokowi ini Jawa banget, Solo lagi, di mana bahasa simbol  itu sangat mendasar, mendalam, dan paling utama. Sampai mengatakan dengan lugas, di forum resmi kenegaraan ini sudah sangat keterlaluan. Tidak bisa dipandang sebelah mata.

Tokoh-tokoh besar  lho yang mengatakan bahwa ia itu plonga-plongo, pun tolol, bukan sembarang orang. Etika mereka berarti sudah sangat memprihatinkan. Demokrasi abai etika, itu sama juga bukan modernitas, malah Kembali zaman bar-bar. Berbeda ketika si  pelabel kata-kata buruk itu orang  biasa, tidak berpendidikan, dan akar rumput. Ini malah elit.

Pembiaran yang keterlaluan. Bagaimana hampir Sembilan tahun pemerintahannya Presiden Jokowi itu dimaki-maki dengan kata-kata sangat kasar, vulgar, dan tidak ada yang berani satupun bertanggung jawab, malah balik menyalahkan yang dimaki. Lihat saja bagaimana gaya mereka ngeles dan merasa benar, dan malah Jokowi yang salah.

Bandingkan dengan yang dilakukan penegak hukum di USA, Ketika ada ancaman pada Presiden Joe Biden. Apakah polisinya antidemokrasi? Jelas bukan, mereka melindungi symbol negara, pemimpin tertinggi mereka. Hal yang wajar.

Di sini, demokrasi, kebebasan berpendapat yang kebablasen dan merasa paling demokratis Ketika berani mencaci, padahal bukan begitu juga. Malah sebaliknya, paling rendah, memalukan, dan tidak memiliki budi pekerti, dan arogan, apalagi tidak berani mengakui bahwa tindakannya keliru. Malah ngeles ke mana-mana. Itukah demokratis?

Penegakkan hukum yang lemah, gamang, dan canggung. Mereka ketakutan dengan cap, label, dan tekanan publik  yang diisi manusia-manusia sakit hati, oposan murahan yang akan menyerang bahwa pemerintah, dalam hal ini penegak hukum antidemokrasi, otoriter, dan seterusnya.

Padahal esensinya adalah pecundang demokrasi, pengecut, dan juga munafik yang maunya memakai terminology kritik padahal caci-maki. Bagaimana ruang public negeri ini penuh dengan bahasa-bahasa kasar   yang dilontarkan barisan sakit hati?

Berbudi luhurlah elit, belajar dari rakyat, miris, ketika malah terjadi kebo nyusu gudel. Usia 78 negara, elit makin bar-bar dan rakyat makin smart.

Dirgahayu Bangsaku!

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan