Keberlanjutan Pembangunan itu Sekadar Omong Kosong
Keberlanjutan Pembangunan itu Sekadar Omong Kosong
Jargon dalam kampanye pilpres kemarin adalah adanya pembangunan yang berkesinambungan. Apakah benar demikian? Bisa dilihat lebih jauh, keknya tidak deh. Bisa diulik lebih lagi, berkaitan dengan istilah saja, jangan bicara mengenai system atau kurikulum, konteks pendidikan.
Satu, PPDB menjadi SPMB
Apa sih yang mendasar dari istilah pendaftaran mau murid atau peserta didik? Toh semuanya sama, dulu bertahun-tahun juga istilahnya hanya pendaftaran, tidak perlu seribet ini. Hasilnya jauh lebih baik, pendidikan yang tidak terlalu banyak masalah.
Apa iya, hanya sekadar menjadi monumen bagi pejabatnya sih? Lha jika mau menjadi kenangan atas kinerja ya tunjukkan dengan bukti prestasi, capaian, misalnya anak muridnya pemahaman dalam riset PISA naik pesat. IQ rata-rata di atas 95, kan itu jelas capaian dan pasti akan dikenang, berhasil. Prestasi bukan sensasi.
Dua, Peserta Didik menjadi Murid
Balik lagi, istilah semata. Apa bedanya murid, peserta didik, anak murid, siswa, toh artinya sama. Mengubah semata peristilahan, namun tidak menambah mutu dari pendidikan yang dilakukan, ya buat apa? Sekadar lagi-lagi hanya sekadar istilah?

Tiga, Zonasi menjadi Domisili
Sekali lagi istilah. Sistemnya juga sama saja. Lha buat apa sih? Jika hanya ganti nama, istilah, atau kata-kata, wong pada dasarnya yang dimaksud juga sama saja. Pembatasan dalam satu zona, satunya dengan memberi tempat tinggal sebagai dasar syarat. Padahal pada esensinya sama saja.
Jauh lebih banyak kog yang bisa diperbaiki dalam dunia pendidikan ini, dari pada sekadar peristilahan, yang tidak mengubah keadaan, apalagi mutu.
Empat, Kurikulum Merdeka menjadi Pembelajaran Mendalam
Kurikulum Merdeka mau memberikan keleluasaan pada satuan pendidikan dalam melakukan kegiatan belajar mengajar, seturut dengan kemampuan peserta didik dan juga guru. Indonesia ini begitu besar, termasuk dalam perbedaan dan kemampuan dalam pendidikan. Pendekatan Merdeka Belajar itu mau memberikan kesempatan agar tidak seragam, mosok Jakarta Pusat mau dipersamakan dengan daerah tertinggal dan daerah miskin. Kasihan keduanya.
Jembatan yang mau dibangun diganti. Tidak ada yang salah dengan deep learning, namun napa sih kudu mengganti, padahal bisa kan kolaborasi.
Lima, kesadaran, bermakna, dan menyenangkan berubah dari merdeka
Deep learning, mau menuju pada pembelajaran yang berkesadaran, memiliki kebermaknaan, dan menyenangkan. Coba apa bedanya dengan Merdeka? Apalagi harus pakai pelatihan itu lagi dan lagi anggaran. Padahal katanya efisiensi.

Enam ujian nasional (TKA)
Bukan syarat wajib lulus, tetapi syarat untuk melanjutkan jenjang selanjutnya. Hal yang cukup aneh dan lucu. Memang UN bermasalah, apalagi satu-satunya syarat lulus dan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Ingat wajib belajar 12 tahun juga berlaku.
Jika istilah saja diganti, padahal artinya identik, senada, sebangun, apa iya akan melanjutkan apa yang lebih susah? Kog tampaknya tidak demikian. Sangat kecil kemungkinannya melihat yang sulit akan dilanjutkan, saat yang mudah, sederhana, bahkan remeh temeh saja diganti. Padahal ya sama saja, jauh lebih bijak melanjutkan kebijakan dan istilah yang sudah dimulai. Belum terlihat hasilnya lagi.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan