Kelangkaan Gas LPG 3 KG dan Aturan yang Mempersulit

Kelangkaan Gas LPG 3 KG dan Aturan yang Mempersulit

Usai pihak Kementerian kaget dengan harga gas LPG 3 kg bersubsidi jauh diangka yang seharusnya, hampir dua kali lipat, ada kebijakan bahwa yang menjual hanya agen atau pangkalan. Hal yang biasa terjadi, langsung langka, laporan di mana-mana antrian panjang, dan sejenisnya.

BBM yang dulunya menjadi komoditas untuk menciptakan keadaan tidak tenang. Harga naik berarti panik, turun yang akan dapat poin gede untuk presiden. Biasa menjadi bahan politis dahulu kala. Mekanisme naik turunnya harga BBM tergantung pasar sudah menjadikan masyarakat tidak lagi heboh, panik, dan gaduh. Metode yang sama dilakukan ke LPG bersubsidi.

Langsung menyasar ke tengah keluarga, jantung dan nadi hidup, ibu-ibu. Panik, gaduh, galau mudah tercipta. Langsung kepanikan massal tercipta, bagi sebagian pihak ini   yang dikehendaki. Ingat beberapa saat lalu, gas langka, dilanjut gula, minyak goreng, beras, itu semua komoditas yang sangat krusial.

Kekacauan dan kepanikan sangat mudah terjadi. Datanglah sang hero untuk menyelamatkan, tentu masyarakat paham siapa dalang itu semua. Kali ini terjadi lagi.

Pembatasan penjualan berarti konsumen harus datang ke penjual besar, apa artinya?

Pertama, ini memperpendek rantai distribusi, harga bisa ditekan. Namun apakah sesederhana itu?

Kedua, selama ini warga bisa beli ke warung sebelah, hanya berjarak 50-100 meter saja sudah ada dua atau tiga warung yang menyediakan. Harga bisa selisih Rp.1000-2000. Jika satu tempat melayani 10 keluarga, berarti dalam 100 meter bisa melayani 30 keluarga.

Ketiga, jika 30 tabung dan keluarga ini harus ke pangkalan, kalikan saja berapa warung yang biasa   melayani dan mendapatkan pasokan, kemudian bergabung dalam satu agen atau pangkalan. Susah dibayangkan, apalagi yang membuat kebijakan tidak pernah tahu susahnya di lapangan.

Keempat, jika mau mengurangi beban subsidi, gampang, buat saja mekanisme sebagaimana pertalite menggantikan premium, toh berjalan dengan baik, tanpa gejolak, dan masyarakat cerdas kog.  Sudah pernah bisa kog, sesederhana itu.

Kelima, mekanismenya belum ditentukan, sudah dijadikan kebijakan. Kan ngacau. Miris jika negara sebesar ini dijadikan kelinci percobaan pemerintahan amatiran.

Politik adem dengan bagi-bagi kue, namun pekerjanya memble ya sama saja. Ademnya semu, kinerjanya buruk tidak ada yang teriak.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan