Kemenangan Jokowi atas SBY

Kemenangan Jokowi atas SBY

Konstelasi pilpres ini sangat menarik, bagaimana pergerakan parpol dan elit partai berfokus pada dua sosok presiden.  SBY yang sejak jauh-jauh hari selalu menggunakan Jokowi seolah rival. ingat ontran-ontran pengambilalihan Demokrat oleh kubu Moeldoko dan kawan-kawan, istana, dalam hal ini jelas Jokowi yang mau disasar.

Terbaru, jelas mengenai AHY yang    terdepak dari kursi bakal cawapres di kubu Anies Baswedan dengan Nasdem dkk. Lagi-lagi, istana, Pak Jokowi, Pak Lurah yang menjadi dalang atas terpentalnya mantan mayor TNI AD itu.

Sudah lumayan lama ketika SBY juga berteriak-teriak mengenai jangan cawe-cawe soal suksesi. Lagi dan lagi ia membandingkan dengan zaman ketika ia mau lengser.  Malah sejak lama SBY cawe-cawe dalam kubu Demokrat  dengan menggulingkan Anas Urbaningrum dan kemudian ia kemudikan sendiri.

Mengadakan konvensi itu dalam tangannya selaku ketua umum. Jangan lah mudah lupa, sehingga nanti malah beneran menjadi pikun atau amnesia. Hanya karena ngebet menjadikan anaknya capres, wong presiden sangat susah, ia menuding pihak lain dan dirinya paling baik, benar, dan demokratis. Padahal sama saja, lebih parah memang.

SBY sering mengaku bahwa ia adalah presiden dua periode dengan pemilihan langsung dan paling sukses, secara tidak langsung tentu saja. Lihat model AHY dalam menilai pemerintahan Jokowi yang selalu dibandingkan capaian peponya. Toh sebenarnya sangat aneh, ketika pujian dan celaan itu dilakukan anaknya sendiri.

Apakah mereka, AHY-SBY tidak paham bahwa mereka jauh tertinggal dengan apa yang dilakukan Jokowi? Jelas saja mereka paham dong. Secara kasat  mata jelas kog pembangunan infrastruktur itu seperti apa. Makanya mereka sering menglaim bahwa Jokowi hanya potong pita atau peresmian.

Hal yang berulang-ulang itu dinyatakan, dikatakan sebagai kritik, jelas mereka paham, era pepo tidak demikian. kemenangan Jokowi mutlak di  sini. Wong rekam jejak sangat gampang dicek, kapan pembangunan dimulai, kapan diresmikan. Jauh lebih banyak yang dibuat zaman SBY mangkrak dan dilanjutkan Jokowi dengan beaya berlipat ganda karena kecerobohan masa lalu. Itulah    capaian pepo.

Mengenai utang negara, selalu AHY pakai untuk mendeskreditkan Jokowi dan pemerintahannya selama 10 tahun. Padahal dengan sangat mudah data utang, penggunaan untuk apa, bagaimana negara berkembang dalam banyak pembangunan sangat jelas di depan mata. Apakah mereka tidak tahu? Bisa jadi memang tidak pernah mau tahu dan melihat. Namun toh bukan orang bodoh, pastinya juga paham. Bagaimana masifnya perkembangan di mana-mana. Uang utang itu jelas ke mana.

Soal utang dan uang negara ini banyak berseliweran data, keungan negara  ditiinggalkan SBY itu sangat tipis, nyaris nol.  Karena menyenangkan semua pihak dan demi populismenya, mereka, Demokrat dan SBY menggelontorkan dana untuk subsidi yang ugal-ugalan.

Negara tidak baik-baik saja, terutama selama pandemi, bahkan meminta anak AHY dan cucu SBY untuk bersurat pada Jokowi meminta lock down. Jika ikut emosional ala mereka, negara ini pasti terpuruk lebih parah dari negara-negara lain. Jokowi tidak merespons itu. Itulah mutu pemimpin. Fokus pda kinerja bukan sekadar narasi.

Pilihan sulit itu berani tidak mengambil. Jokowi memilih mengambil jalan terjal itu. wajar rewardnya gede, karena ala SBY yang penakut memang tidak akan memberikan dampak dan hadiah besar. Itu yang perlu SBY pelajari, bukan cuma menghajar Jokowi agar mendapatkan durian runtuh.

Elit Demokrat, diwakili Roy Suryo atau Denny Indrayana, memperlihatkan kalah kelas lagi. Mengaku mendapat info valid akan ada perubahan sistem pemilu, dan faktanya tidak demikian. orangnya ngacir, mau memberikan kesan pemerintah curang, eh gagal lagi, dan diam seribu bahasa. Jokowi tidak merespons, artinya dia yang memenangkan narasi buruk dan busuk itu. kembali SBY terjerembab.

Paling jelas itu anak-anak SBY dan Jokowi. Gibran dan AHY, lihat Gibran ditarik ke mana-mana demi mendapatkan simpati publik. Eh malah AHY  disingkang-singkang, yang membuat SBY meradang dan ngamuk, kembali menuding Jokowi, istana di balik dan menjadi dalang gagalnya pasangan Anies-AHY.

Berkali ulang SBY mengadakan konpres dengan nada marah, emosional, meskipun tutur katanya halus, namun kata-kata yang terlontar itu kasar banget. Hal yang memperlihatkan mutu SBY yang konon berpengalaman itu sama sekali tidak tampak sama sekali. Hanya demi membela AHY dan kepentingannya sendiri.

Jokowi malah mengatakan  jika Gibran sebenarnya belum saatnya. Masa depannya masih panjang, biar saja di kelas walikota dulu. Orang tua yang tahu batas, kemampuan, dan berani mengatakan cukup.

Pendidikan dan berani berjuang, bukan malah memberikan anak sebuah fasilitas. Ini yang bertolak belakang antara Jokowi-Gibran dengan SBY-AHY. Apalagi namanya juga tidak ada embel-embel Widodo, dan Gibran bisa melakukan hidupnya sendiri. Baik secara politik ataupun kehidupan harian. Ini yang membedakan SBY dalam mendidik AHY.

AHY mengatakan sudah move on dan melanjutkan komunikasi politik untuk menjalin koalisi dengan partai manapun, tanpa memaksakan diri menjadi wapres. Tahu diri, tahu kapasitas, dan keadaan. Sayang harus mempermalukan diri dan anaknya oleh SBY bahkan hingga dua periode. Ia sendiri mengatakan sudah ada yang memberikan masukan, kenapa juga ngeyel.

Sayang AHY yang masih begitu muda harus menjadi tertawaan dunia politik sekian lama, SBY malah menambah dengan caranya menghujat ke sana ke mari usai terdepak itu. Padahal tidak  perlu demikian. Hanya tinggal  mencari partner baru dan berjalan ke depan. Masa depan masih panjang, mengapa harus meratapi apa yang harus terjadi sedemikian rupa.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan