Cak Imin, Ken Arok, dan SBY, serta Penghianatan

Cak Imin, Ken Arok,  dan SBY, serta Penghianatan

Sejarah Nusantara pernah ada kisah Ken Arok dengan keris bertuah atas kutukan Mpu Gandring, yang akan membunuh tujuh   keturunan raja-raja Tumapel.  Kisah yang dalam konteks kekinian kog rasa-rasanya masih mirip. Khianat.  Penggulingan kekuasaan dengan aneka bentuk kontekstualisasi.

Ken Arok yang mau membunuh Tunggul Ametung, toh membunuh Mpu Gandring, Kebo Ijo sebagai kambing hitam, dan akhirnya dirinya sendiri juga tewas karena keris pesanannya itu.  Kisah berdarah yang berulang, perebutan kekuasaan dengan paksa, kudeta, khianat, dan saling tikam dalam artinya yang sesungguhnya.

Era modern tentu bukan dengan pembunuhan menggunakan keris atau sejenisnya tentu saja. Alam demokrasi dengan menolak pertanggungjawabannya, sidang istimewa, atau kalah dalam pemilihan periode berikutnya.

Sukses tanpa keadaan buruk  itu ada SBY sejauh ini. Jokowi akan menyusul dengan kepuasan publik hingga lebih dari 80%. Harapannya hingga setahun ke depan tidak ada hal yang sangat besar menodai capaian Presiden Jokowi ini.  Kutukan Mpu Gandring  seolah masih demikian kental ketika Bung Karno, Soeharto, BJ. Habibie, Gus Dur, dan Megawati lengser dengan cara yang tidak baik-baik saja.

Optimisme bahwa makin ke sini makin sangat baik. Tidak sampai pertumpahan darah, lengser semakin alamiah, usai Bung Karno dan Soeharto harus diawal keadaan yang buruk, BJ. Habibie ditolak pertanggungjawabannya, sehingga tidak bisa ikut pemilu berikutnya.

Gus Dur yang disidangistimewakan dan diganti Megawati yang berakhir pada periodisasi, tidak bisa menang dalam pilpres berikutnya. SBY sukses turun setelah memang dua periode. Hal yang sangat baik. Pun kali ini Jokowi juga sukses lengser karena habis dua kali masa jabatan. Keadaan lebih bagus, berakhir dengan semestinya.

Namun, miris ketika di balik layar sebelum pilpres, gelaran puncak pesta demokrasi pemilihan presiden eh diwarnai dengan trik dan intrik, bahkan sampai keluar pernyataan, jenderal kardus, khianat, musang berbulu domba, tidak tahu etika, dan seterusnya. Ini salah satu apa yang terjadi dengan Demokrat, khususnya yang menimpa AHY dan SBY yang mereaksi demikian.

Khianat

Hal yang sejatinya sulit dinamakan demikian. dinamika politik itu ya wajar jika demikian. ingat, wajar dalam konteks ini adalah orientasi adalah kekuasaan.  Memang masih sering lupa seni dalam berpolitik. Tidak usah bicara soal etika yang jauh lebih luhur lagi.

Tarik ke belakang, bagaimana reputasi politikus itu pada memecundangin Gus Dur dengan dalih SI, mereka-mereka yang terlibat itu semua, bukannya juga melakukan khianat, SBY dan Cak Imin ada di sana.  Tentu konteks yang berbeda.

Anies Baswedan yang dituding musang berbulu domba juga pernah ditelikung SBY waktu konvensi ia adalah jawaranya. Memang kondisi Demokrat  yang terjun bebas tidak bisa membawanya menjadi salah satu parpol yang mengusung calon sendiri. Mereka hanya menjadi penonton, lha mendukung Prabowo-Hatta saja dengan malu-malu.

AHY ketelikung sehingga lahirlah jenderal kardus, dengan tudingan bahwa Sandiaga Uno membayar upeti kepada bosnya sendiri Prabowo dan partai-partai lain agar bersama-sama mengusung dirinya bersama mantan Danjend Kopassus  dalam pilpres. AHY yang dilabeli ingusan karena hanya mayor terdepak.

Kini keadaan yang mirip dan lebih tragis karena secara publik dan gamblang AHY di mana-mana sudah memasang baliho akan bersama Anies Baswedan. Pun menebarkan narasi untuk menyerang Jokowi dan pemerintah berkali ulang. Tiba-tiba saja ada manufer Cak Imin yang menyorongkan diri dan menjadi cawapres dari Anies Baswedan di pilpres mendatang.

Semua buyar, wajar ketika SBY kemudian meradang dan menyerang ke mana-mana, yang malah mempertontonkan kekanak-kanakannya yang sangat dominan. Padahal tidak harus demikian, wong pendaftaran juga belum.

Makin diulik makin  asyik.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan