Manipulatifnya Politikus Kita

Machiavelli terkenal dengan tulisannya yang berinti, bahwa boleh menggunakan segala cara untuk mendapatkan tujuan. Fasisme menjadi sebuah ujaran bagi orang terutama dunia politik yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.

Paus waktu itu, melarang buku Machiavelli ini, karena jelas bertentangan dengan ajaran moral. Ingat, konteks ini adalah Roma dan Vatikan. Toh hingga hari ini model demikian masih demikian lekat dijadikan satu-satunya cara oleh politikus yang ambisius namun minim kemampuan dan prestasi.

Politik uang, politik identitas, menyerang pribadi bukan program, menjegal di tengah jalan, padahal mengaku demokratis, itu jelas Machiavelin tulen. Mirisnya adalah mereka ini mengaku beragama taat, hilir mudik ke tanah suci. Slogan agamis dikenakan, namun sama juga boong, ketika menghalalkan segala cara.

Beberapa pihak yang hari-hari ini memperlihatkan fasisme adalah;

Jusuf Kalla

Wapres dua kali yang ngebet  menjadi presiden  ini baru saja mengatakan tidak ada masjid berkaitan dengan radikalisme. Namun ada pernyataan sebaliknya. Bupati Sidoarjo mengaku bahwa ada salah satu tempat ibadah di tempatnya (Sidoarjo) menjadi tempat menyimpan senjata.

Jusu Kalla tentu tahu dengan baik apa yang terjadi di dalam masjid, namun ia  yang menggunakan kepengurusannya di Dewan Masjid tentu harus mengaku baik-baik saja. Lihat, agamawan, tokoh, elit pula saja masih fasis ternyata.

Partai Ummat

Partai baru besutan Amien Rais ini mengalami hal yang sangat buruk. Salah satu kadernya ditangkap densus 88 karena kemungkinan terlibat dalam kelompok teroris. Salah satu elit partai mengaku, bahwa reputasi densus yang tidak benar.

Lihat, bagaimana mereka memutarbalikkan fakta yang ada. Siapa yang  tidak kenal reputasi densus 88 dan juga afiliasi elit partai ini. Sangat mudah membedakannya.

Anies Baswedan

Gubernur Jakarta ini mengatakan sudah tidak bisa membantu menutupi kejadian dan akibat omicron. Padahal penanganan pandemi Jakarta semua orang juga tahu seperti apa. Maunya menimpakan kesalahan pada pemerintah pusat.  Namun lupa, bahwa ia tidak ngapa-ngapain sama sekali.

Demi panggung 24 ia rela menyalahkan pihak lain, dirinya tidak berbuat apa-apa. Padahal dia ini paling getol jika bicara agama. Apa iya agama mengajarkan munafik, culas, dan memfitnah? Jelas tidak bukan.

Konon politik itu kotor, saya tidak sepaham dan bahkan anti demikian. Politik itu baik, mencari kekuasaan demi kesejahteraan masyarakat. Namun lihat saja perilaku buruk para politikuslah yang merusak semuanya.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan