Membubarkan Ibadah Bukan Penistaan Agama, Lampung Viral Lagi
Membubarkan Ibadah Bukan Penistaan Agama, Lampung Viral Lagi
Beberapa waktu lalu Provinsi Lampung viral karena jalan rusak dan kunjungan presiden yang menampilkan keadaan jalan itu apa adanya. Tingkah Gubernur Lampung yang dianggap keterlaluan menjadi bahan candaan warganet.
Kini, Kembali viral karena penyelesaian kasus pembubaran kegiatan keagamaan di sana dinyatakan tidak memenuhi unsur penistaan agama. Warganet diingatkan lagi bagaimana seorang ibu divonis dua tahun karena mengeluhkan toa, alat pengeras suara bukan agamanya.
Mengapa demikian?
Pertama, penegakkan hukum masih timpang. Takut pada tekanan public. Apalagi mayoritas yang biasanya memiliki massa, power, dan kekuatan public untuk menekan penegak hukum. Miris jika demikian, ini negara hukum atau rimba belantara.
Kedua, masih banyaknya penegak hukum yang berafiliasi pada ideologi tertentu, dan itu sama sekali belum tersentuh oleh atas nama pembubaran ormas terafiliasi ultrakanan. Malah makin massif di bawah tanah usai pembubarannya.
Ketiga, masih demikian banyaknya orang tidak taat azas. Dasar berfikir, bertindak, dan menjalankan tugas jelas Pancasila dan UUD 45, namun toh selama ini bahkan ada yang berdasarkan agama. Jelas tidak ada aturan perundangan dari dasar dan konstitusi negara itu bertentangan dengan agama. Toh, masih begitu banyak yang menggunakan terminology agama, bukan konstitusi.
Keempat, masih begitu banyak orang mabuk agama. Bagaimana orang demikian takut neraka, meskipun itu tidak taat pada aturan perundangan. Merekayasa kasus, menggunakan pasal karet, sikap tidak bertanggung jawab, dan seterusnya. Ini kan aneh. Mana ada sih perintah agama namun melanggar aturan, hukum positif namun seolah baik-baik saja.
Kelima, mabuk politik. Kepentingan politik menjadi-jadi, demi menyenangkan pihak-pihak tertentu, penagakkan hukum bisa sangat lemah pada mayoritas, namun demikian kejam pada minoritas. Miris, ke mana sila kelima Pancasila?
Keenam, selalu menggunakan terminology HAM, namun abai akan menghargai perbedaan, pemaksaan kehendak, dan main hakim sendiri seolah benar karena mayoritas. Ini miris, hukum multi tafsir dan tidak akan ada kepastian hukum bagi kelompok minoritas.
Ketujuh, tahun politik. Demi kepentingan politik, bisa mengggunakan segala cara. Termasuk di sini adalah agama dan kesukuan. Miris.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan