Munarwan Belajarlah Ksatria dan Bertanggung Jawab dari Ahok
Sebenarnya ini sebuah hal yang biasa, normatif, dan konsekuensi logis saja. Keseimbangan yang harus terjaga. Siapa ia menabur akan menuai. Maka, tidak setuju juga jika Ahok harus mencabut pernyataannya. Lah emang perilaku jahat yang diterima Ahok juga sudah pernah dicabut? Minimal meminta maaf.
Ahok, menjalani hukumannya dengan sangat taat, tidak naik banding, tidak meminta remisi, hak-hak yang bisa ia peroleh tidak dimanfaatkan. Bertanggung jawab atas perilaku yang pernah ia lakukan. Berbeda dengan para penuntutnya kala masuk bui. Jika kena kasus hukum mereka berteriak sebagai kriminalisasi, menolak segala hukuman dengan berbagai cara. Praperadilan, membangun opini, mengerahkan massa dan sebagainya.
Kini Munarman, usai memuji-muji Bambang Widjoyanto, mengancam Jokowi dengan pernyataan, jika ia teroris, Jokowi sudah pergi ke alam lain. Disambung dengan mengaitkan Firli sebagai idola pas aksi 212. Apa yang bisa dipelajari sih dengan kejadian ini?
Bertanggung jawab itu tidak mudah. Sering mengatakan, memakainya dalam kata dan kalimat, namun kalau mengalami susah menerima dan malah cenderung mencari kambing hitam. Orang yang ia jadikan pesakitan itu masih hidup, dan masih segar dalam ingatan. Kog tidak malu, apalagi mengaitkan diri dengan pembela agama.
Merasa diri paling dan selalu benar. Ini lagi-lagi adalah ciri kanak-kanak, orang sama sekali tidak dewasa. Badan dewasa, bahkan tua, tetapi kepribadian dan kejiwaan anak-anak. Miris. Teriak-teriak merasa benar.
Padahal rekam jejak sangat mudah diperoleh. Ini zaman internet, digital, bukan zaman batu dan semua serba tertutup.
Inilah salah satu akibat buruk dunia digital yang tidak dibarengi dengan literasinya. Orang bisa seenaknya mau menutupi jejak masa lalunya, dan maaf tidak bisa. Buruk bagi kalian, bagus bagi orang waras dan memilih tetap waras.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan