Menjilat Ludah Sendiri Soal Infrastruktur, AHY Lupa Ingatan

Pada tahun 2017 SBY melontarkan kritik bahwa pemerintahan Jokowi terlalu banyak menghabiskan dana untuk membangun infrastruktur. Padahal ekonomi lagi sulit. Ia juga mengatakan, bahwa membangun fisik itu penting, namun jangan terlalu jor-joran. Hal yang sangat normatif dilakukan oposan yang kurang kerjaan.

Nah, menjadi tidak lagi sekadar normatif, kala kini, 2022 dalam rapimnas AHY sebagai anak kandung SBY dan juga “jiwa” Demokrat, melontarkan pernyataan, jika 70%-80%  pembangunan era Jokowi  itu  hasil kerja keras bapaknya. Jokowi tinggal potong pita atau peresmian.

Layak dicermati apa maksud dari kedua pernyataan ini sebagai sebuah olah pikir presiden dan calon presiden yang ngebet banget untuk memimpin negeri ini.

Konsistensi. Pemimpin yang baik itu kudu konsisten dalam melihat, menilai, dan menyatakan pendapat.  Bagaimana soal pembangunan yang pernah diolok itu kini diklaim sebagai karyanya sendiri.

Benar, pameo politik sering menyatakan, kalau kepentinganlah yang selalu sama, abadi. Putar balik pernyataan itu sebuah kebiasaan.   Level politikus, bukan negarawan.  Hal yang masih dominan di negeri ini. Masih langka memiliki pribadi berkarakter dan patriot.

Petualang politik yang cenderung fasis dalam mencapai tujuan dan kekuasaan semata. Fokus mereka kekuasaan, bukan pengabdian. Jadi konsistensi itu jauh dari harapan.

Visi ke deoan. Demokrat ini berkutat pada masa lalu, lupa ke depan. Mereka tidak punya gagasan, selain menyasar keberhasilan pihak lain.  Bagaimana pemimpin fokusnya pada masa lalu dan kepentingan diri dan kelompok terus.

Misinya jelas sangat personal, hanya demi kekuasaan dan  kursi empuk. Ujung-ujungnya adalah duit dan kue semata. Rakyat, bangsa, dan negara hanya menjadi sarana atau alat mencapai kekuasaan.

Idealnya adalah  bangsa sebagai tujuan pengabdian, bukan semata alat demi kepuasan dan kekuasaan diri sendiri. Padahal politikus model ini kekuasaanlah tujuan utama. Negara jadi bobrok atau miskin tidak peduli.

Konstituen yang dielu-elukan pas pemilu, pada akhirnya tidak akan diingat. Bisa-bisa lebih menderita jika tanpa pemimpin.

Berbicara mengenai potensi pemilu tidak adil, sehingga SBY mau turun gunung, ini adalah kepanikan pepo adanya kemungkinan AHY gagal nyapres karena memang tidak mampu menjual dirinya, partainya termasuk barisan gurem, perlu kolaborasi dan koalisi minimal satu partai besar untuk mengusung AHY. Masalah berikutnya adalah, partai mana yang besar dan  mau sekadar mengusung cawapres, dan menempatkan AHY di atas.    

Inisiator PT 20% itu era SBY mau maju periode kedua. Pengamanan potensi kalah karena banyak calon. SBY lupa membangun partainya dan saat ia turun, partainya juga terjun bebas. Pemenang pemilu menjadi menengah.  Apalagi ketika tidak berkuasa, makin turun suara pemilih. Menjadi oposan yang separo hati dan tidak jelas membuat partai dari Cikeas ini lebih suram lagi.

Posisi perolehan suara sangat minim namun menggadang-gadang AHY menjadi capres membuat SBY kelimpungan. 2019 diketawain koalisi Prabowo, 24 mereka sendiri tahu diri namun maunya menyalahkan pihak lain. Sukses dengan  politik korban kini dikolaborasikan dengan politik identitas.

Model pemimpin demikian yang mau menggantikan suksesnya Jokowi dalam menjadi nahkoda di RI? Rekam jejak partai dan peponya saja sudah juga tidak memberikan hasil gemilang, mosok mau diulang.

Salam penuh kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply