Mumtaz, Gus Miftah, dan PAN yang Galau

Menyatakan diri bergabung pada pemerintahan, namun hingga hari ini, belum ada tanggapan signifikan dari pemerintah. Jawaban itu pastinya adalah kursi. Galaulah, jabatan itu penting dan utama. Kerja keras nanti dulu.

Partai besutan Amien Rais ini selalu main dua kaki. Pilpres enggan kerja, bergabung dengan rival politik, ketika gelaran sudah selesai. Dua kali periode begitu. Wajar partai suam-suam kuku itu tidak laku. Benar, secara kasat mata mereka mendapatkan kursi, di balik itu publik mencibir.

Membangun citra dengan sangat buruk. Lebih-lebih ketika si bidan itu ditendang dari dalam, seolah ada makar dan itu masih besan sendiri pelakunya. PAN memang akan selalu begitu. Dibangun oleh dasar demikian, tidak akan bisa berubah.

Gus Miftah
Gus Miftah

Mumtaz dan Gus Miftah.

Di tengah kegalauan menanti kursi malah viral adanya bantuan yang bermaksud untuk mendapatkan dukungan dalam pileg.  Sumbangan Rp. 100 juta, yang seolah adalah sangat besar, iya jika diberikan kepada fakir miskin, panti asuhan yang memang sangat membutuhkan. Ponpes Gus Miftah sudah mapan, dana itu karena ngarep pemilih, maka bukan ke panti asuhan yang berpenghuni anak-anak.

Apa yang terjadi ini adalah politik uang dan transaksional banget, membuktikan memang PAN dibangun demikian adanya. Makin menambah deretan fakta, partai ini tidak akan banyak berkembang karena memang tidak memiliki kapasitas untuk menjadi besar.

Riwayat perselisihan yang menendang ayah dan memilih mertua dan istri juga memperlihatkan bagaimana politik PAN itu dibangun dan dikembangkan. Perbedaan yang itu-itu saja namun diperuncing, bukan dijembatani untuk bisa kembali rukun.

PAN dan Anies Baswedan

Tentu publik paham bagaimana sepak terjang Anies Baswedan. Demikian juga PAN ikut mendukung pemerintah itu karena apa. Bagaimana mereka berdua bertemu, dan posisi lain, Anies sedang ada urusan dengan DPRD DKI. Lagi-lagi ini adalah main kaki yang sangat kasar.

Politik itu seni dan juga diplomasi. Lha kalau main kayu seperti ini sih bukan seni. Tawuran. Main kasar dan buruk.

Sayang, anak kandung reformasi namun perilakunya jauh dari arti demokratis. Pokoknya kekuasaan, soal cara tidak menjadi soal. Lebih fasis dari pada yang lahir masa Orba. Ini perlu disadari agar publik paham, apalagi menggunakan agama sebagai baju.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply