JK, Nurdin Abdullah, PDI-P, dan Korupsi
Rangkaian panjang yang tidak bisa ditemukan jika itu era dulu. Rekam jejak digital itu dengan gampang diungkap kembali. Beberapa hal yang layak dilihat;
Sulsel itu kandang Golkar dan JK sekaligus. Nah tiba-tiba banteng bisa berkuasa di sana. Seolah penghinaan, kampung halaman dikuasai rival, dalam konteks politik tentu saja.
Serangan bagi PDI-P dengan narsi sarang koruptor. Hal yang pernah dialami Demokrat. Beda kelas, konteks, dan juga besaran anggaran yang diembat tentu saja. Toh narasi itu dicoba terus.
Nurdin Abdullah salah satu gubernur dan pimpinan daerah yang bekerja. Miris, ketika para pekerja ini malah menjadi sasaran empuk. Susah melihat ini adalah kasus maling berdasi. Toh ada yang sudah terpampang jelas, tidak kerja pula. Eh aman.
Tentu ini bukan dukungan pada koruptor. Namun bagaimana korupsi memang seharusnya dibersihkan, namun bukan tebang pilih. Apalagi ketika menyasar pimpinan daerah yang kinerjanya bagus. Lha yang merusak malah aman.

Susah melihat ada upaya interpelasi, sejak lama, dan kini tanpa keterkaitan ketika ada OTT. Jika demikian, ada hal-hal yang menakutkan.
KPK tidak independen, namun ada kepentingan politik yang mengikuti. Jika demikian mengerikan. Ingat, dulu, era pilpres juga demikian. Satu demi satu ditangkap. Anehnya hanya dari parpol pendukung Jokowi, satupun pihak rival tidak ada.
Nilai uang yang merugikan negara cenderung receh, dibandingkan kinerja kejaksaan. Bagaimana lembaga ad hoc khusus ini malah kalah? Anggaran gede, memiliki hak istimewa pula. kalau tidak berbeda dengan kejaksaan dan kepolisian untuk apa?
Cenderung politis, reaksi PDI-P cukup berbeda dengan penangkapan-penangkapan lainnya. Baru saja menteri dari partai mereka juga tertangkap. Toh reaksinya biasa.
Jika demikian terus, kapan berubah. Ini soal mental dan sikap serta kehendak baik.
Salam penuh kasih
Susy Haryawan