Anak Elang, Mahasiswa Astronomi, dan Pendidikan Politik Bangsa

Anak Elang, Mahasiswa Astronomi, dan Pendidikan Politik Bangsa

Akhir-akhir ini publik lagi disentak dengan pernyataan etika politik oleh Rama Magnis Suseno. Debat, pro dan kontra, dan juga bela membela masih demikian panas. Lebaran sedikit mengurangi tensi itu. Sangat menarik, ketika bersamaan banyak kisah dibagikan, ada dua hal yang layak diulik berkaitan dengan hal ini.

Pertama, anak elang, seorang petani menemukan sebuah telor, ia satukan dengan ayamnya yang sedang mengeram. Ternyata itu adalah anak elang, setelah menetas. Aktifitas si elang kecil ikut ayam dan anak-anaknya. Berjalan ke sana-ke mari, mengais mencari cacing atau makanan di tanah.

Suatu hari ada elang dewasa yang terbang meliuk-liuk di angkasa, mengincar anak-anak ayam. Sambil ketakutan ia bertanya pada mak angkatnya, “Apakah itu yang terbang gagah di langit?”

“Itu namanya burung elang, yang akan memangsa kamu dan saudaramu, yang kini sedang aku lindungi ini….”

“Kita gak bisa terbang?”

“Tidak, kita hanya bisa di tanah dan mencari makan di sini, bukan dari langit.”

Si elang junior akhirnya jadi ayam, kuthuk yang hanya jalan di atas tanah, mengais-ngais untuk makan, dan tidak lagi berfikir untuk bisa terbang.

Kisah kedua mahasiswa astronomi, kisah saduran dari media sosial, mahasiswa doktoral astronomi yang sedang kemping dengan bapaknya. Kecapekan seharian jalan dan membangun tenda mereka tertidur. Dini hari si bapak terbangun dan mendapati ia tertidur di alam terbuka. Anaknya dibangunkan dan ditanya, “Apa yang kamu ketahui?”

“Bintang-bintang di langit begitu banyak, milyaran galaksi dan bintang bisa kita saksikan dengan mata kepala kita.”

Sedikit jengkel si bapak melanjutkan, “Artinya apa?”

“Langit cerah dan kita bisa membuktikan pengetahuan kita secara langsung…”

Sambil menggetok kepala anaknya dengan gemas dan jengkel ia mengatakan,” Artinya tenda kita dicolong orang, tahu?????”

Apa yang dikatakan anak mahasiswa ini tidak ada yang salah, benar 100% atas dasar keilmuan yang ia geluti. Namun, esensinya bukan di sana, bagaimana lingkungan, dunia sekitar itu tidak mesti tepat seperti ilmu yang dipelajari.

Kita juga pastinya juga tahu, paham, dan mengerti bukan bahwa banyak hal ngaco, aneh, dan ganjil dalam hidup sehari-hari? Lihat saja bagaimana orang bisa kaya raya karena korupsi, padahal sekaligus ia adalah orang yang sangat saleh dalam laku agamanya.

Makanya ada pameo yang mengatakan, takut daging haram, namun uang haram dari nyolong, malak, dan korupsi tidak menakutkan. Padahal mereka sangat paham agama, aturan, dan juga konsekuensinya. Sama sekali bukan orang bodoh mereka ini. Toh  begitu bukan tingkah lakunya.

Sederhana, bagaimana kita di jalan. Ketika melihat cara berkendara begitu banyak orang yang tidak karu-karuan. Apakah mereka tidak tahu aturan lalu lintas? Pastinya banyak yang tahu. Toh sama saja.

Pemilu dan partai politik itu lakunya seperti apa? Semua paham bukan?  Tiba-tiba ramah, menyapa pemilih, atau bagaimana kinerjanya yang bobrok, namun tanpa angin tanpa badai menjadi calon ini dan itu.

Pendidikan kita tidak mengajarkan esensi, hanya sebuah prestasi yang sering dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik dan benar. Menyuap, bocoran  soal, atau katrolan sudah sangat biasa. Miris. Bagaimana mereka bisa paham perjuangan, ketika pendidikan model demikian.

Teladan yang diberikan oleh media dengan memberikan panggung perilaku para elit pun demikian buruknya.  Susah akan melihat anak elang bisa terbang, karena dikangkangi babon yang seperti ini. wajar menghasilkan manusia pembelajar yang hanya paham keilmuanya, tanpa paham  dunia dan lingkungannya.

Hafalan, mengedepankan ritual, prosedur, namun abai proses dan pemaknaan. Mau sejatinya elang atau rajawali, ya akan hanya menjadi kuthuk yang hanya mengais-kais tanah demi makanan kecil. Potensi itu ada, hanya sayangnya hanya menjadi potensi karena memang ada yang merekayasa untuk demikian adanya. Miris.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan