Pendidikan Nasional dan IQ 78

Pendidikan Nasional dan IQ 78

Hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional, hari bersejarah karena tokoh pendidikan lahir pada tanggal ini. Beliau juga sekaligus Menteri Pendidikan yang pertama.    Jika mengacu pada kebiasaan membaca dan juga IQ rata-rata orang Indonesia hari ini, pasti beliau akan sangat sedih.

IQ 78, hal yang sangat memprihatinkan. Benar, bahwa intelektual bukan satu-satunya bekal untuk hidup dan menjamin kehidupan ini, ataupun kesuksesan. Namun parameter paling jelas adalah IQ untuk  mengklasifikasikan kecerdasan manusia.

Pendidikan nasional hari-hari ini sudah sangat menggembirakan. Jauh lebih banyak anak-anak yang lanjut sekolah dari pada putus pendidikan dan hidup di jalanan misalnya. Apalagi jika bicara buruh anak-anak, hampir tidak pernah terdengar ada laporan dan riset mengenai hal ini.

Kasus-kasus khusus saja yang terjadi, seperti anak-anak punk di perempatan jalan, atau buruh anak-anak di beberapa tempat. Secara umum pendidikan masa kini sangat baik. Berbeda dua atau tiga dasa warsa lalu, anak putus sekolah, hanya SD saja sangat banyak. Kini kampus-kampus membangun gedung baru, kawasan baru sehingga dikenal  kampus 1,2,3 dan terusnya. Gambaran bahwa pendidikan sampai perguruan tinggi makin menyeluruh. Menyentuh hampir semua lapisan masyarakat.

Jika keadaan pendidikan demikian, mengapa  kemampuan intelektualnya malah sangat rendah? Beberapa hal layak dicermati,

Pertama, minat baca sangat rendah. Jelas ini masalah keteladanan, contoh, dan pembiasaan yang tidak ada. Budaya itu terjadi jika ada pembiasaan. Tanpa itu semua, tidak akan terjadi. pengaruh bacaan pada intelektual jelas sangat signifikan.

Kedua, budaya gadget dan media sosial. Jauh lebih banyak anak-anak menikmati video dari pada bacaan, buku misalnya. Tidak ada yang salah dengan media sosial, namun kadang hanya sampah, konten yang tidak ada isinya. Isu-isu kehidupan artis, perselisihan politik, atau konten-konten asal yang penting viral.

Ketiga, kacaunya dunia pendidikan dengan masuknya ideologi tertentu. Ini harus diakui, bagaimana aksi ultrakanan sangat merusak dunia pendidikan. Aktivitas keagamaan yang malah lebih dominan di kelas atau sekolah dari pada sains dan teknologi. Tentu agama tidak salah, namun ada ranah tersendiri dan di luar institusi pendidikan umum tentunya.

Keempat, kebiasaan menghafal. Hal yang terjadi juga karena adanya standart kelulusan. Ada dimana  pemerintahan yang menaikkan standart nilai UN setiap tahun, namun tingkat kesulitan soal makin rendah. Mengejar nilai tanpa mau berjuang dan proses pendidikan yang baik.

Begitu banyak hafalan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Malah ada jalur penerimaan mahasiswa dari jalur hafalan ini. Ini bukan soal agama, namun soal cara  berproses dalam pendidikan. Tidak kontekstual antara hafalan KS dengan pendidikan tinggi. Masalah seleksi yang kacau.

Kelima, politisasi sekolah. Otonomi daerah membuat sekolah di bawah kendali pemerintah daerah. Ada kepala daerah ini juga menggunakan institusi pendidikan untuk kepentingan mereka.  Beda afiliasi, bisa-bisa kepala sekolah, kepala dinas yang kompeten malah ilang. Miris lagi, jika kepala dinas pendidikan diisi oleh kolega kepala daerah karena upeti dan atau kesamaan pilihan semata. Padahal butuh orang yang paham pendidikan dengan baik.

Keenam, penyeragaman. Tentu tidak bicara soal baju atau atribut, namun kurikulum, kelas, dan semua hal dari Sabang sampai Merauke sama. Padahal bisa jadi di kelas itu tidak pantai matematika namun sangat cerdas dalam hal musik. Namun kan semua harus sama. Minat, bakat, dan kemampuan yang diseragamkan, sangat mungkin membuat anak-anak frustasi.

Keprihatinan yang tampaknya belum menjadi kesadaran bersama. Malah cenderung belum terpikirkan, atau malah belum dilihat.  Jujur mengakui ada masalah juga penting untuk  mengatasi keadaan ini.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan