Politik

Rusuh yang Terus Berulang

Lemahnya Refleksi dan Bodohnya Kita

Menarik, berbicara mengenai rusuh tahunan di negara ini. Sejarah mencatat, kerusuhan besar-besaran hampir selalu terjadi dalam periode tiga dasa warsa. Tahun 66-an, 98-an, dan keknya masa itu hadir lagi. Kali ini memang belum sebesar dua kali kejadian yang sudah-sudah. Namun dampaknya kog identik.

Kepemimpinan yang menentukan, mampetnya saluran komunikasi pada para penguasa yang membuat keadaan tidak baik terjadi. Sayang, ketika keberadaan negara sedang melaju ke depan, harus berakhir mundur lagi. Dua kejadian yang lama memang menurunkan kekuasaan yang terlau lama.

Kini, arogansi dan ketidakpekaan pemerintah bersama jajarannya yang membuat rakyat jengkel.  Mengapa selalu berulang? Itu pertanyaan yang cukup menggelitik. Di negara lain kog kelihatannya tidak setragis ini.

Lemahnya refleksi dan evaluasi

Budaya evaluasi yang mendalam, menyeluruh, dan menyentuh masalah pda akarnya kelihatan sangat lemah. Ingat saja kejadian 66 dan 98 pun tidak pernah diselesaikan dengan baik. Malah sering dipakai sebagai alat untuk memojokkan pihak lain. Penyelesaian secara baik dan benar, mendalam, menyentuh akar permasalahan, sangat membantu sehingga luka itu sembuh. Selama ini hanya memberikan pembalut pada koreng itu, dan sewaktu-waktu terkena benturan lagi, kecil saja akan mengeluarkan darah lagi.

Bagaimana mau  mengampuni, ketika merasa selalu mejadi korban, tanpa mau merasa juga pelaku. Selalu demikian yang terjadi.

Dalam bincang-bincang dengan  seorang rekan, menyatakan, betapa bodohnya kita, sehingga selalu saja memilih pemimpin yang salah. Namun, tidak karena rakyat bodoh, lha memang pilihannya juga tidak ada yang bermutu. Parpol biang rusuh, suka atau tidak suka, harus diakui dulu. Mana sih parpol hadir untuk bangsa ini? Mereka hanya berfikir pada kepentingan mereka saja.

Memori dan ingatan yang pendek

Begitu mudahnya lupa, padahal rekam jejak dan rekaman data sangat mudah diakses sekarang ini. Entah mengapa begitu gampang melupakan kisah kelam masa lalu. Atas nama kasihan berulang kali kalah bisa memangkan pemilihan umum. Orang yang arogan, tidak memperlihatkan mutu dalam bekerja, kembali melenggang ke kursi dewan.

Apakah hal di atas sebuah kebodohan? Keculasan elit yang memanfaatkan kebaikan hati warganya. Bangsa ini sejatinya cerdas, tidak bodoh, namun terlalu lugu dan baik hati, sehingga selau dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memang memanfaatkan itu.

Lihat saja Borobudur, kejayaan Majapahit, itu terjadi pada abad lampau, di mana negeri lain masih cebok pakai batu dan hingga kini menjadi “pedoman” yang dianggap keramat. Bisa dibayangkan betapa majunya pola pikir dan bahkan hasil cipta nenek moyang kita.

Ealah, hanya karena minya goreng dan uang goceng bisa memicu konflik seperti ini, belum juga setahun. Perlu menghilangkan ingatan kolektif, yang sering didengunkan elit, fase 30 tahunan itu. Semua bisa diatasi.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *