Sukatani, Polisi, dan Demokrasi

Sukatani, Polisi, dan Demokrasi

Salah satu ciri demokrasi adalah adanya kebebasan bersuara dan berekspresi. Sayang bahwa hal tersebut, kebebasan berekspresi seolah menjadi momok ketika grup band Sukatani mengekspresikan kritikan mengenai perilaku polisi yang dalam pandangan mereka, si pemusik, apapun yang berurusan dengan polisi harus bayar.

Hal sejenis sebenarnya mulai dirasakan berat, seolah rezim kali ini antikritik dan baper ketika ada yang berbeda. Prabowo sebagai presiden saja pernah merespon ndhasmu, atas berbagai kritikan dari Masyarakat. Mulai kabinet gemuk hingga banyak masalah yang mengikutinya.

Menteri-menteri juga sama saja dalam menjawab dan merespon aksi mahasiswa. Indonesia gelap ditanggapi Luhut dengan yang gelap kalian bukan Indonesia. Wakil Menteri menjawab narasi #kaburaja dulu dengan kabur sana gak usah balik.

Karya seni dan pentas seni juga mulai kena “pembatasan.” Pameran yang tiba-tiba dibatalkan, adanya pilihan-pilihan karya yang boleh dan tidak, penarikan karya seni yang dianggap menghina tokoh atau pemerintahan.

Wajar ketika peringkat   demokrasi Indonesia merosot. Belum lagi aksi intoleran yang makin menggila, eh kini kritikan via media seni pun marak dikekang.

Polisi

Suka atau tidak, hari-hari ini, mulai menjelang pilpres kepolisian menjadi sorotan tajam masyarakat.    Perilaku mereka yang demikian ugal-ugalan dalam berpolitik, dan sering ditemukan video bersiliweran di lini massa mereka sedang menangkapi pelanggar hukum di mana-mana. Sampai ke dalam gang dan kampung.

Eh ada pula polisi  yang  merekaya kasus, paling jelas di Semarang, ada polisi menembak anak sekolah dengan tudingan dan “rekayasa,” bahwa anak ini tawuran. Fakta-fakta lain tidak memberikan bukti hal ini. Padahal kapolrestanya membawa senjata tajam dalam gelar perkara. Bayangkan.

Belum lagi kasus di Sulawesi yang membawa guru ke pengadilan dengan dakwaan anak polisinya kakinya patah. Bukti lain tidak membuktikan itu. Malah di perjalanan kasus itu adanya pernyataan ada permintaan pungutan sejumlah uang agar kasusnya mandeg. Menguap begitu saja.

Paling dahsyat ya kasus Sukatani ini. Pihak kepolisian daerah melakukan “Tindakan” sehingga para kru band menarik lagunya dan minta maaf. Direspon oleh polisi pusat mau diangkat menjadi duta kepolisian, dan ditolak.

Jauh lebih penting dari pada mengangkat duta personel Sukatani,  lebih mendesak kepolisian memperbaiki citranya. Mengayomi, melayani, dan melindungi, apakah yang dilakukan selama ini sudah demikian? Sesederhana itu. Bayar-bayar itu benar atau tidak, kan selesai.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan