Tragedi Kanjuruhan dan Sikap Bertanggung Jawab

Miris, tragedi yang menelan nyawa manusia ratusan sia-sia itu malah mempertontonkan sikap abai akan tanggung jawab. Selalu begitu, tidak ada satu pihakpun yang mengaku sebagai pelaku, lembaga, atau pihak yang memiliki tanggung jawab.

Media, televisi bersikukuh bahwa mereka tidak melakukan tindakan keliru sama sekali. Melemparkannya pada pihak lain. Padahal pertandingan malam itu karena permintaan pihak televisi berkaitan dengan sponsor dan juga tayangan prioritas mereka. Sama sekali tidak ada sikap mengaku terlibat membuat kekeliruan.

Panitia, merasa baik-baik saja, menuding media, televisi, atau pihak keamanan eksternal polisi yang bertindak berlebihan, padahal jelas-jelas mereka tidak cukup kompeten, menangani penonton, keadaan stadion, dan potensi rusuh lainnya.

Membiarkan penonton masuk lapangan apapun alasannya tidak ada pembenarnya, malah mereka berkilah itu tradisi, padahal salah.  Poin ini juga dilakukan oleh paguyuban penonton.

Federasi, EXCO, dan LIB, mereka berkutat pada aturan yang sangat fleksibel, seturut kemauan pihak-pihak yang mencari untung di dalam pertandingan itu.  Malah cenderung lepas tangan dan seolah menuding pihak keamanan luar, kepolisian sebagai biang kerok.

Lebih ngaco lagi menuding Tuhan sebagai pemilik kehendak dan terjadi tragedi itu. Padahal ini semua adalah karena kelalaian pihak-pihak yang  terkait sehingga terjadi tragedi ini.

Aremania. Ini adalah korban namun juga sekaligus pelaku utama. Mereka masuk lapangan, polisi mau melokalisasi kerusuhan, dan ternyata ada aksi berbeda dan itu menjadi ajang kepiluan yang lebih jauh.

Selama ini mereka malah menuding siapa saja pelakunya, tidak ada satupun yang mengaku bahwa  mereka juga terlibat rusuh itu. Satupun tidak ada.

Padahal rekam jejak rusuh penonton itu sangat gampang ditemukan, sudah diupayakan tanpa penonton dari pihak lawan, ini kan upaya bahwa mereka memang potensial rusuh, mengapa malah menuding ke mana-mana. Padahal seharusnya koordinator penonton ini dimintai pertanggungjawaban, bukan malah menyalahkan pihak lain.

Kebiasaan dan pembiaran. Sejak kecil tidak diajari sikap  tanggung jawab, malah menuding pihak lain sebagai pelaku, termasuk pada Tuhan. Kelalaian manusia kog malah menyalahkan Tuhan. Sudah keterlaluan, bahkan harusnya kena pasal penistaan agama.

Selalu saja terulang, penonton antarkesebalasan, tentara polisi, dan kerusakan ditanggung negara. Model begini, pelaku yang terekam melempar, apalagi membakar, merusak, siapapun itu harus membayar. Jika tidak ada uang, kerja paksa, dan kerja bakti untuk itu dihitung sekian jam. Jadi ada kemauan bertanggun jawab, bukan pembiaran terus-terusan.

Elitnya pun setali tiga uang. Tidak ada sikap tanggung jawab. Maling saja cengegesan, merasa rezeki Tuhan, dan tidak ada apapun tuntutan pidana yang sepadan. Bayar semua kelar. Penyakit yang memuakan bagi orang waras sejatinya, sayang semua seolah membiarkan ini.

Mengaku paling religius, namun bertanggung jawab saja tidak bisa. Menafik dan juga mencari kambing hitam seolah menjadi gaya hidup. Memalukan.

Tanggung jawab itu bukan hanya pernyataan, permintaan maaf,  atau mundur. Tidak demikian, ada perbaikan dan perubahan yang signifikan. Hal yang sama sekali tidak ada dalam kebiasaan kita berbangsa.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

 

Leave a Reply