Tutut dan Titik, Pernahkah Kalian Takut dan Cemas?
Memperingati 100 tahun atau seabad Jenderal Besar Soeharto, dua kakak beradik Tutut dan Tatik mengatakan pujian bagi sang ayah. Hal yang wajar, namanya anak. Pujian sambil menjatuhkan yang sekarang.
Tutut menglaim bapaknya menjadikan Indonesia adalah Macan Asia. Identik dengan argon mantan iparnya, Prabowo dalam kampanye. Atribut Macan Asia yang masih bisa diperdebatkan. Toh itu bisa menjadi artikel lain.
Kini, fokusnya adalah pernyataan keduanya dan konteksnya bagi masyaratkan dan bangsa ini. Titik mengatakan, bapaknya akan menangis jika menyaksikan hutang saat ini. Ya terserahlah bagi Bu Titik, mantan bini Prabowo yang mengatakan ini. Ia tentu juga paham kog, hutang negara itu komulatif, bahkan sebelum kemerdekaan.
Titik sebagai mantan anggota dewan pasti paham dengan baik itu. Toh, tabiat bangsa ini, elit terutama, biasa membuang sampah di pekarangan tetangga agar, rumahnya paling bersih. Sama juga merobohkan rumah tetangga agar rumahnya terlihat paling bagus.

Pujian kepada mendiang Soeharto silakan, tetapi mengapa sih harus dengan mendiskreditkan yang sekarang? Mengenai hutang, apakah hanya Jokowi saja yang berhutang?
Duo puteri yang tidak pernah merasakan pahit dan getirnya hidup, Tutut mungkin sejenak pernah susah, masa-masa bapaknya belum menjadi penguasa tunggal RI. Titik, enak dan enak saja yang dialami.
Apakah mereka pernah merasakan tidak bisa menjadi ini atau itu karena ada cap OT dalam KTP bapak atau emaknya? Tidak akan pernah. Mengatakan ini dan itu pemimpin yang sekarang mereka bebas saja.
Pernah tidak mereka itu mengalami susahnya mengejar bis untuk ke sekolah? Sampai sekolah tidak boleh masuk karena belum bayar SPP. Atau kerabatnya tiba-tiba hilang atau kena gebug karena protes ini dan itu?
Eh, kini, ketika rakyat sedang berharap mendapatkan keadilan, pembangunan merata, dan semua bisa menjadi apa saja, demokrasi bisa diharapkan, mereka seolah menjadi anak-anak paling menderita. Dolanmu kadohan Yu, samping ngarep mburimu ra weruh.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan