Wamen Rangkap Komisaris BUMN
Wamen Rangkap Komisaris BUMN
Kerja Satu saja Belum Tentu Sukses, apalagi Rangkap
Beberapa waktu terakhir, banyak ungkapan dan pernyataan dari anggota kabinet yang aneh. Mulai komentar mengenai sakit perut karena tidak biasa makan enak, dulu mengatakan orang goblok, ada pula yang mengatakan orang miskin akan melahirkan anak yang miskin pula. Belum lagi kebijakan ngaco ala gas tiga kilo yang dibatasi, pemindahan kawasan provinsi, dan masih banyak kengacoan lainnya.
Para elit membela kepentingan, saat adanya rangkap jabatan, ada di kabinet dan juga masih nyambi di BUMN, menjadi komisaris. Jabatan komisaris itu cenderung ungkapan terima kasih, balas jasa karena sudah dimenangkan dalam pilpres. Sudah bukan rahasia lagi. Ungkapan terima kasih dan balas jasa sih tidak ada yang salah.
Namun, apa yang laik diulik adalah;
Lha jika kedua hal yang dijabat dalam capaiannya selama ini masih memprihatinkan. Kementerian, departemen, atau eksekutif toh masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dilakukan, dan dievaluasi untuk meningkatkan tujuan pembangunan. Tapi selama ini yang terdengar kan juga sekadar wacana, responsive jika ada persoalan, dan belum ada gebrakan yang luar biasa.

Keberadaan BUMN pun demikian memilukan. Lebih sering terdengar laporan rugi, minta penambahan anggaran modal dari negara, korupsi yang merajalela, gaya hidup para pengelolanya yang masih elitis, pun system penggajian yang berbeda dengan ASN, namun hasilnya masih jauh dari harapan. Perlu gebrakan besar dan pastinya konsentrasi tinggi. Toh tidak terjadi, apalagi dua kerjaan, apa bisa?
Negeri ini sangat besar, kaya raya, dan banyak sekali potensi. Mirisnya dikelola dengan ugal-ugalan, terlalu banyak drama, ucapan terima kasih yang berlebih-lebihan, sehingga sudah cukup, masih saja ditambahkan. Begitu banyak orang pinter, namun mengapa memakai orang yang itu lagi-itu lagi, kini malah rangkap-rangkap.
Di tengah banyaknya keluhan ekonomi yang tidak baik-baik saja, pemutusan hubungan kerja, eh para elit bagi-bagi jabatan. Padahal kan bisa lebih terdistribusi, meskipun di antara mereka sendiri sekalipun. Masyarakat juga sudah ogah ngeributin. Minimal tidak bobrok-bobrok amat jika dua jabatan ditangani dua orang, meskipun afiliasi yang sama.
Susah melihat mereka mampu menjalankan tugas dengan baik di dua tempat. Satu saya amburadul, apalagi dua. Mana bisa yakin apalagi melihat rekam jejak mereka memang tidak cukup meyakinkan. Lebih banyak bagi-bagi jabatan karena ucapan terima kasih. Masih ditambah-tambahi lagi dengan jabatan yang dibuat-buat, inefisien, di tengah gembar-gembor efisiensi.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan
