Susi Pudjiastuti, Peluang bagi Koalisi Perubahan

Susi Pudjiastuti, Peluang bagi Koalisi Perubahan

Anies Baswedan Bersama  koalisi perubahan mendapatkan amunisi baru, ketika ada nama baru yang hadir. Berbeda dengan beberapa nama yang lalu-lalu dan menolak, kini ada harapan. Apakah berakhir sama dengan yang sudah-sudah, ya layak ditunggu sih.

Namun, beberapa hal ini layak dicermati, bagaimana kalkulasi politik dan potensi yang ada di tengah-tengah mereka, antara Anies Baswedan sebagai bakal capres, bakal cawapres, dan juga partai-partai pendukungnya.

Mengapa ini penting?

Pertama, Anies Baswedan itu tenar namun sekaligus cemar. Ceruk pemilihnya sangat sempit.   Jika Praboeo juga maju dalam pilpres, mereka akan berebut suara dan pemilih yang identic, dan itu suara yang di pilpres lalu-lalu sudah jelas, kudu diperebutkan mereka. Kondisi yang tidak cukup bagus dan meyakinkan.

Kedua. Perlu partner yang cukup mumpuni. Nah, masalahnya adalah ketenaran dan popularitas Susi Pudjiastuti itu sudah pudar lima tahun ini. Ia memang fenomena dalam peneggelaman kapal, namun perubahan sikapnya lima tahun belakangan, bukan mengambil pendukung Jokowi, namun sama dengan para pemilih Anies dan Prabowo.

Artinya tidak cukup membantu untuk menaikkan kemungkinan pemilih baru dan di luar  loyalis Anies selama ini. Relative sama. Beberapa pihak yang masih ingat dan respek dengan sepak terjangnya ketia menjadi Menteri KKP, tetap ada. Toh tidak cukup kuat.

Ketiga, keduanya bukan orang partai politik. Ini masalah serius. Sangat mudah dipermainkan Ketika ada masalah dengan parlemen. Ingat bagaimana Jokowi awal-awal menjabat di 2014, begitu sulit bergerak untuk membuat kebijikan.  Reputasi partai pengusungnya juga begitu.

Sangat terbuka kemungkinan di tengah jalan mereka dijungkalkan untuk diganti dengan orang yang mereka kehendaki, hanya menjadi penarik suara dalam pemilu. Penggantian di tengah jalan mekanismenya tidak perlu pemilih. Itu jika menang.

Keempat, bukan orang atau elit partai politik, kemungkinan besar menjadi bulan-bulanan partai politik dengan menggunakan parlemen. Mereka dibiarkan sendirian dan mati kutu. Tidak diganti, namun dibiarkan tersandera, sehingga negara stagnan, para elit partai yang memegang remote.

Kelima, keduanya sama-sama Menteri di era Jokowi. Ini adalah keuntungan namun sekaligus kelemahan. Melihat reputasinya selama ini, justru memperlemah posisi mereka dalam pilpres. Kelemahan sangat jelas, apalagi posisi mantan Gubernur DKI dengan kegagalannya kemarin dalam mengelola Jakarta. Posisi Susi Pudjiastuti tidak memberikan dampak sama sekali untuk perbaikan.

Keenam, ijazah mantan Menteri KKP itu menjadi sasaran empuk untuk   rival politik menggunakannya sebagai sarana politik kotor. Sangat terbuka, pun penampilannya sebagai perempuan, calon pemimpin lagi. Hal yang makin memperburuk demokrasi negeri ini.

Ketujuh, memperlihatkan ketiga partai plitik gagal membangun komunikasi yang bagus. Maka menggunakan pengikat dari luar partai, agar mereka bisa solid. Ini bisa jadi bumerang, self of belonging kurang cukup kuat atas pejabat yang mereka usung sendiri.

Pengalaman Demokrat dalam dua pilpres terlihat enggan kerja keras, karena bukan kader dan keinginannya yang maju dalam pemilihan. Hal yang sama kali ini lebih berat, karena AHY tergusur. Lebih nyesek tentu saja.

Hal-hal di atas memperlihatkan bagaimana kondisi koalisi ini tidak baik-baik saja.   Keduanya bukan kader partai dan juga tidak mencerminkan putera terbaik negeri ini. Kegagalan partai politik melakukan kaderisasi dan juga komunikasi politik.

Susah melihat peluang mereka bisa berbicara lebih jauh dan lebih baik. Sekadar pembicaraan yang tidak aka nada kelanjutan.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan