Akhir Kuasa Novel Baswedan?

Polemik dan narasi yang melebar ke mana-mana, keknya tidak banyak membantu keberadaan Novel Baswedan. Dalam keterangan persnya, ada yang sangat berbeda, kontras, dan itu bahasa simbol yang sangat kuat. Ada photo presiden, wakil presiden, dan Pancasila di belakang pimpinan KPK.

Selama ini, tidak ada simbol bernegara itu dalam keterangan pers oleh KPK. KPK seolah di luar apapun bagi negara ini. Benar, mereka bukan bawahan dan pembantu presiden sebagaimana menteri dan lembaga negara lain.

Toh mereka tetap bagian dari aparat negara bangsa ini, yang memiliki Pancasila sebagai ideologi bangsa. Setiap lima tahun memiliki presiden dan wakil presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan. Itu standart normal di manapun di dunia ini.

Isu taliban dan kelompok eksklusif di KPK, kog seolah mendapatkan pembenarnya, jika menilai simbol negara yang diabaikan selama ini. Ini soal keberadaan gambar saja sudah ditiadakan, apalagi yang penghayatan yang tidak terlihat.

Baswedan

Pun pengajian, ingat pengajiannya tidak salah, namun para pengisinya, kog cenderung ultrakanan. Ceramah-ceramah yang mengarah dan promosi ideologi bukan Pancasila. Ini adalah fakta.

Bukti lainnya, makin jelas, ketika aa 70-an lebih pegawai yang konon tidak lulus uji wawasan kebangsaan. Entah soalnya macam apa, tetapi dari ratusan peserta, hanya 70-an saja yang tidak lolos. Artinya, masalahnya adalah pada peserta yang tidak lolos, bukan pada soal dan materinya.

Nah, makin heboh ketika hal itu menjadi bahan polemik di media, terutama media sosial. Adanya sematan pegawai beritegitas yang mau dibuang. Kita tilik laku mereka, yang konon berintegritas itu.

Komisioner belum bicara. Mereka yang punya hak lebih, kog malah peserta yang konon gagal yang lebih dulu berteriak. Mosok orang berintegritas tapi abai wewenang dan malah membocorkan hasil dari banyak pihak. Ingat 70-an lho, atau satu gerbong memang?

Orang-orang yang sama ini, selalu menarasikan pelemahan KPK. Sejak revisi UU KPK, pgawai KPK adalah ASN, pemilihan komisioner, dan adanya dewas, mereka ini selalu nyaring bersuara. Apa artinya?

Merasa diri paling baik, benar, dan level malaikat, sehingga tidak perlu perbaikan, pengawasan, dan boleh bertahun-tahun menduduki kursi jabatan yang sama.

Satu demi satu terkuak, dulu kebocoran sprindik seolah baik-baik saja. Ternyata ada emas, truk, dan pemerasan di sana. Mengapa kini baru menjadi heboh dan urusan polisi?

Falsafah Jawa mengatakan, wis kebak sundukane, tiba saatnya menuai hasil atau panenan. Komisioner sudah menyatakan sikap, bersam pemerintah dan Pancasila, bukan yang lain.

Tamat KPK, negara di dalam negara, LSM plat merah satu demi satu tumbang dan dikembalikan pada jalur yang semestinya. Hadiah Lebaran yang sangat indah bagi hidup bersama.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply