Arogannya Anak Presiden, Menggugat Rp.56 M
Menggunakan istilah pilihan Pak SBY, tidak ada mantan presiden, berarti Tomy Soeharto juga anak presiden. Beberapa hari ini sedang ramai dengan pemberitaan dan pembicaraan tuntutan Tomy Soeharto kepada pemerintah karena kantornya menjadi korban jalan tol. Sangat menarik adalah apa yang ia upayakan ini. Rindu pada Orba sebagaimana Tomy nyatakan, malah dimentahkan sendiri. Kondisi yang bertolak belakang.
Sangat menarik adalah apa yang dilakukan anak-anak Presiden kedua ini. Beberapa waktu lalu, abangnya Tomy juga dicekal keluar negeri, karena masih memilii hutang kepada negara. Piutang untuk gelaran Sea Games puluhan tahun lalu hingga hari ini belum dibayar.
Tomy pun sudah kalah, bahkan hingga jenjang MA terhadap Menteri Keuangan atas penyitaan aset Rp. 1.2 T. Fantastis, mereka memang kaya raya. Kini malah menggugat pemerintah karena mengusik keberadaan propertynya. Hal yang sangat jarang terdengar, bahkan tidak terjadi pada dua periode SBY memimpin.
Beberapa hal yang laik dilihat lebih dalam dengan peristiwa ini;
Pertama, bagaimana perilaku Tomy, padahal pernah berhasrat menjadi presiden dan mencoba peruntungan menjadi anggota dewan pula. Arogansi yang tiada terperi, hanya karena miliknya tersetuh, kemudian menuntut dengan luar biasa. Coba bayangkan apa manfaat dan keuntungan dengan jalan itu, dan tentunya bukan hanya milik Tomy sendiri yang terkena imbas.
Kedua, hal yang tidak pernah Tomy rasakan, kini jalan tol itu pasti ada uang pengganti yang wajar. Bagaimana proyek di masa lalu, TMII misalnya, Mekar Sari, Tapos, atau proyek-proyek lainnya era Orba, kepentingan pribadi dan milik pribadi pula. Jangan-jangan ini malah nanti menjadi jalan masuk para pemilik tanah di mana dulu diambil paksa untuk kepentingan Cendana pribadi kini ikutan gagasan Tomi. Jika demikian akan keren.
Ketiga, kemungkinan akan kalah, karena pemerintah sedang pada posisi angin baik, padahal keadaan Tomy dan keluarga cenderung pada posisi buruk. Pengalaman-pengalaman lama mengenai perseteruan mereka dengan negara selalu berujung pada kekalahan. Soal mobil Timor, mengnai hutang Sea Games milik Bambang, aset lain pun satu demi satu kembali kepada yang berhak. Apalagi hanya karena kantornya terkena proyek.
Keempat, ini bukan kepentingan pribadi, namun demi pembangunan dan kepentingan umum. Bahasa yang sama yang dipakai almarhum Bapaknya Tomy sendiri. Lha malah kadang kepentingan dan menjadi milik pribadi. Tuh di atas sudah disebut, TMII, Tapos, Mekarsari, apakah sudah sesuai prosedur dan mendapatkan pengganti yang layak, atau hanya gertakan subversif dan PKI?
Kelima, pembelajaran penting, bagaimana watak dasar Tomy sebagai pribadi. Betapa egoisnya, dan kalau menjadi pemimpin, ingat membuat partai politik itu ada maksudnya tentu saja akan seperti apa wujud pemerintahannya. Apa yang ditampilkan adalah, jangan sntuh aku, atau kau kugigit. Bagaimana model demikian menjadi pemimpin?
Keenam. Pemerintah ini serius, termasuk menghadapi masa lalu, Cendana dengan segala kekuatan, jaringan, dan kemampuan, terutama finansial tak terbatas. Apa indikasinya?
Tuntutan kepada pemerintah ini bukan hanya sekali, berkali-kali, coba cek via media pencarian. Begitu banyak aksi langsung legal mereka. Apakah mereka tidak menggunakan cara ilegal? Bisa jadi. Tetapi bahwa itu tidak pernah terjadi pada masa lalu. Unik dan sangat menarik ini, ada apa?
Ketujuh, jadi Tomy baru merasakan menjadi rakyat. Bagaimana rakyat yang sejak dulu digusur dengan tanpa daya, tentara dengan bedil yang maju, bukan uang ganti untung. Apalagi jika dipakai untuk kepentingan pribadi atau sekadar kantor pemerintah. Apanya yang salah coba?
Miris sebenarnya, jika melihat apa yang sederhana namun menjadi berbelit dan ribet. Sepanjang sudah ada sosialisasi, sudah ada kesepatan harga, dan ada kesempatan dialog untuk menemukan titik tengah. Sangat berlebihan jika menuntut karena miliknya terganggu. Ini malah bisa dikatakan subversif kalau meminjam istlah Soeharto. Alasan mengada-ada, cenderung hanya menghambat pembangunan, bukan malah membantu.
Pemanfaat alam demokrasi. Hukum menjadi panglima. Ujungnya kalah toh masih bisa menuntut legalitas yang dilindungi hukum. Bayangkan jika itu terjadi masa Soeharto. Paling dekat yang perlu diketahui ya rusuh ’98. Itu karena Soeharto tidak mau ada koreksi atas perilakunya selama 32 tahun. Demokrasi semu yang diagung-agungkan itu mau dipertahankan. Mana ada yang berani membawa pemerintah, Soeharto ke pengadilan, pasti hilang.
Perlu dingat apa yang terjadi dengan Sukarno, salah satu pendiri bangsa, senior Soeharto, presiden pertama, merana di wisma hingga meninggal. Pemikirannya melalui buku pun dibungkam puluhan tahun. Apakah ada yang membawa ke pengadilan? Mau mati? Kembali, Tomy menunjukkan mana yang benar dan tidak.
Apa yang dilakukan Tomy itu baik. Memperlihatkan keadaan pemerintahan era bapaknya dan kini, baik mana, manusiawi mana, dan taat hukum mana. Maka klaimnya rindu pemerintahan Orba itu sudah dimentahkan sendiri oleh anaknya. Maunya keren dan kritis eh malah mules.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan