Cicak Buaya Hadir Lagi Kali ini “Polisi” versus Kejagung
Cicak Buaya Hadir Lagi Kali ini “Polisi” versus Kejagung
Membaca dan mendengar gonjang-ganjing bahwa ada Densus 88 yang menguntit Jampidsus jadi miris. Negara tidak baik-baik saja, pinjam istilah Pak Beye dan AHY kala masih oposan dulu. Kisah ini identik dengan cicak versus buaya ala kepolisian zaman lampau. Korp baju coklat marah karena anak asuhnya mau memeriksa mereka.
Kini si baju coklat kembali ditengarai mengawasi atau menguntit korp coklat lainnya. Mereka ini sebenarnya kolega, karena berkesinambungan dalam melakukan penegakan hukum. Usai dari polisi, naik ke pihak jaksa, baru ke persidangan dan itu ranah hakim. Eh ini malah konon saling kuntit.
Menurut pemberitaan Kejagung bekerjasama dengan POMAD untuk pengawalan. Konon sejak awal 2023, dan yang menangkap “Densus” itu juga dari pengawalan tentara ini. Ada apa dengan negeriku?
Suka atau tidak, hari-hari ini adalah suasana transisi pemerintahan. Presiden terpilihnya sudah pada dipahami seperti apa. Ke depannya akan bagaimana, tentu sudah pada tahu juga. Kondisi yang serba baru namun tidak jelas seperti apa. Kepemimpinan yang sudah dipahami dengan baik tentunya.
Salah satu kandidat cawapres kemarin mengatakan, jika banyak petinggi negeri ini menjadi backing atau pelindung tambang ilegal. Hari-hari ini di Kejagung, Jampidsus sedang menangani kasus yang sama. Tentu publik masih ingat dengan penangkapan Harvey Moeis, suami artis Sandra Dewi yang konon terlibat dalam pertambangan ilegal timah dengan kerugian negara sampai 217 T. Ingat ini angkanya trilyun, bukan semata milyar.
Kondisi kekinian memantik lagi, jangan-jangan berkaitan dengan hal tersebut. Mengapa sampai ada penembakan itu juga berhubungan dengan kasus tambang ilegal? Tanya publik ini tidak mesti terjadi, jika motif pembunuhan ajudan itu diungkap dengan gamblang.
Sayang, di dalam menyelesaikan masalah di negeri ini cenderung melindungi korp, padahal yang salah itu para punggawanya, bukan korpnya. Itu dulu yang harus menjadi jiwa para anggota korp apapun itu.
Jika sudah mampu demikian, orang yang bersalah harus bertanggung jawab dan institusi tetap saja baik adanya. Selama ini seolah yang dipidanakan adalah lembaganya, padahal bukan begitu. Super ngaco dan membawa-bawa lembaga untuk mengamankan kesalahan pribadinya.
Hal yang perlu memperoleh kesadaran bersama untuk bisa jernih dalam melihat masalah. Apalagi penegak hukum. Apakah mereka tidak paham? Pastinya paham, namun karena perilakunya bersama-sama, namun sering hanya satu dua yang dijadikan tumbal, maka sering nyokot, atau menggigit kolega atau korp untuk membentengi diri.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan