MUI, Toleransi, dan Pancasila

MUI, Toleransi, dan Pancasila

Miris, menjelang hari lahir Pancasila, namun salah satu organ hidup bersama negeri ini malah mengeluarkan pernyataan yang mereka namakan fatwa  jauh dari nilai Pancasila. Bagaimana tidak, ketika mereka mengatakan haram menyatakan atau mengucapkan selamat hari raya milik agama lain. Pun mengenai salam milik agama lain juga haram.

Perilaku baik kog malah dibuat ribet dan ribut. Keadaan yang sudah sekian lama terjadi dan tidak ada yang menyoal itu, namun tiba-tiba dijadikan bahan kajian. Mengenai ucapan selamat hari raya memang sejak tahun 80-an. Polemik itu toh  selalu saja pro dan kontra. Masih banyak yang tidak ikut anjuran itu.

Kemudian hari muncul salam semua agama dalam acara-acara resmi kenegaraan bahkan, eh kini dipersoalkan. Maunya apa sih, sudah merasa paling  gede, ucapan salamnya yang pertama, maunya hanya sendirian tanpa agama yang lain begitu?

Jauh lebih baik, ganti saja dengan satu salam. Salam Indonesia, dengan selamat pagi, selamat siang, selamat sore, atau selamat malam. Tidak ada salam kog beragama. Sering malah salam itu lebih panjang dari isi pembicaraan, concoh   pertanyaan anggota kewan, eh dewan itu. Mbulet di salam agama, namun nol isinya.

Semua hal, ceramah, pidato, sambutan, eh pertanyaan dalam rapatpun selalu dengan salam, kepanjangan. Isinya gak berbobot lagi, untuk apa sih? Tidak usahlah mabok dengan salam dan sejenisnya, Ketika perilakunya ambradul.

Konon salam itu doa. Lha   faktanya apa yang ada di negeri ini, maling aka korupsi juga masih merajalela, sikap bertanggung jawab nol besar, ngeles atas pernyataan sendiri seolah biasa saja. Buat apa ucapan, salam, atau doa itu jika tidak diikuti dengan perilaku baik dan bagus.

Biar saja salam atau do aitu untuk kegiatan keagamaan. Pengajian, kajian, retret, rekoleksi, ibadah, atau apapun namanya. Namun  ketika pidato, sambutan, bahkan pertanyaan tidak usah ada salam beragama itu. Kembalikan pada porsinya.

Semua kog seolah-olah mau diagamakan. Mirisnya, perilaku dan pernyataannya jauh dari ciri orang beragama. Padahal tanpa label, kaca-kata agamis, namun berlaku adil, jujur, bertanggung jawab, tidak malingan, dan bekerja keras jauh lebih bermakna.

Hasil itjima ulama kali ini saya dukung. Sejuta prosen sepakat, kembalikan agama pada koridornya, tidak semua juga harus dilabeli agamanya. Tidak perlu mabok agama dan kata suci, namun perilakunya malah mengingkari itu semua. Artikel ini bukan bicara sekularisme, namun bagaimana beragama dengan takaran yang pas. Empan papan.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan