Knalpot Bronk, Tentara, dan Egoisnya Kita

Knalpot Bronk, Tentara, dan Egoisnya Kita

Beberapa waktu ini riuh rendah soal knalpot brong. Sebenarnya sih di kampung-kampung sudah cukup lama keadaan menjengkelkan itu. Namun, kini menjadi ramai karena berkaitan dengan tensi politik yang mulai memanas menjelang hari valentine, eh hari pencoblosan.

Salah satu yang membuat geli adalah, ketika  tentara nggebukin penggembira atau salah satu paslon dengan dalih, bahwa knalpot kendaraan mereka mengganggu. Respon atas itu adalah, Pangdam Diponegoro memerintahkan Polisi Militer di jajaran Kodam IV untuk mengadakan razia kendaraan prajurit terkhusus knalpot brong.

Menurut pemberitaan, konon ada 3000-an kendaraan para anggota militer ini menggunakan knalpot brong, alias knalpot yang mengganggu ketertiban. Boleh dong menggunakan terminologi yang militer pakai untuk membela diri atas perilaku anggotanya.

Hal yang secara obyektif memang menjengkelkan. Semua orang juga terganggu, naif adalah ketika tentara melakukan kekerasan di jalanan, dan ada yang membawa ke dalam markas, eh di antara koleganya juga memakai atribut atau asesoris yang sama.

Di kampung-kampung juga banyak betebaran larangan lewat pemakai knalpot brong. Alasannya juga jelas kan karena mengganggu. Telinga terganggu karena suara bising. Memekakan telinga bagi yang dilewati.

Egoisme di sini  ada tiga pihak yang memperlihatkan;

Pertama, pengguna knalpot brong. Mereka ini bising luar  biasa, namun ditinggalkan di belakang. Orang lain yang harus menderita, sedangkan mereka melaju terus, hanya dampaknya sedikit. Egois banget.

Kedua, tentara yang merasa terganggu, eh bukan tidak mungkin yang gebukin itu di antara tiga ribu pemakai knalpot brong yang terkena penegakan disiplin POMAD. Ketika mau memakai, ada pengguna memberikan respon yang buruk.

Jika sportif tidak akan demikian. Atau karena ada kepentingan yang berbeda, soal politik tentu saja, knalpot hanya sebagai dalih atau alasan pembenar.

Apakah juga akan digebukin ketika yang memakai dengan seragam doreng, mau ijo atau abu-abu? Kog saya yakin tidak akan, dan tidak merasa terganggu dengan itu, atau takut karena persamaan seragam? Pada kasus Boyolali itu kan orang biasa.

Ketiga, betapa naifnya ketika memaknai kesalahan, pelanggaran, atau kesalahan itu karena perbedaan semata, ketika sama maklum, toleran, dan diam saja. Sikap defen, berdalih, dan menebarkan narasi membela diri tanpa merasa bersalah, melampaui kewenangan dan tugas pokoknya, itu jelas egoisme yang selalu dikedepankan.

Apa dampak egois? Jelas merasa diri paling baik, paling benar, dan semua pihak yang berbeda adalah salah, boleh dihakimi sekehendak hati. Sikap demikian bagi bangsa pluralis seperti Indonesia akan bubar, toleransi hilang karena sikap demikian.

Wajar bukan, intoleran demikian kuat, marak, dan merajalela, karena sikap egois, kekanak-kanakkan, itu masih demikian dominan. Merasa diri paling benar, berkuasa, dan pihak lain yang berbeda pasti salah atau buruk.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan