Kowe Anake Sapa?

Kowe Anake Sapa?

Kamu anak siapa? Kata-kata yang sedang viral ini sejatinya gambaran kita dalam hidup bersama. Tidak hanya bicara arogansi, mau menang sendiri, dan merendahkan pihak lain. Jauh lebih dari  itu adalah, bagaimana sikap kita di dalam melihat liyan, yang lain.

Sering dalam mengurus sesuatu, berkaitan dengan birokrasi, acap kali  kita perlu “orang dalam” untuk memperlancar sesuatu. Katabelece atau surat sakti dulu itu, hingga kini masih suka sangat membantu. Tidak jarang digantikan dengan amplop atau uang agar semua lancar jaya. Ini menggantikan kowe anak e sapa.

Di dalam masyarakat, konteks yang tidak jauh berbeda juga terjadi. Bagaimana penghargaan   anak orang gede, gedongan, atau pejabat tentu akan berbeda. Konteks kekinian, orang kaya, anak pemimpin agama, atau anak tokoh memiliki previlegi khusus. Merembet juga ke sekolah, sering mereka ini “kebal hukum,” gurunya “ngeper-pekewuh” atau bahkan takut untuk menyentuh mereka ini, padahal tidak jarang mereka ini mbeling, bodho lagi.

Masuk sekolah, masuk menjadi pegawai, mau naik pangkat atau jabatan, semua ditanyakan kowe anak e sapa, atau ganti dengan amplop tebal. Hal yang sudah sangat jamak terjadi dan bukan rahasia umum dalam hidup bersama kita.

Terlalu jauh jika bicara kompetensi atau skil dalam dunia kerja, ketika menjadi anak orang gedean, semua lanjut dengan leluasa. Jika demikian ada yang terdepak, ya konsekuensi di mana jargon kowe anak e sapa ini sudah menjadi kredo di dalam kehidupan berbangsa dan negara ini.

Lebih parah lagi jika masuk dunia politik. Kowe anak e sapa ini sangat luar biasa manfaatnya. Sejak Orba hingga kini, sangat digdaya menggeser kemampuan kader-kader terbaik. UU, aturan, semua bisa diubah demi anakku ini.

Lihat saja  bagaimana penegakkan hukum atas perilaku  ugal-ugalan jika berkaitan dengan kelompok mayoritas? Diam sejuta bahasa, mengatakan salah paham, padahal jelas-jelas pahamnya yang sesat dan salah, malah minta orang lain memaklumi.  Konteks anak e sapa ini juga terjadi.

Arogansi si bapak-bapak yang ngamuk karena terhadang kepentingannya ini bukan satu-satunya perilaku koplak. Malah seolah sudah mendarah daging. Jalan satu jalur, dia yang salah, malah nyolot, dan mengatakan pihak yang benar keliru, menendang dan memaki-maki, menggunakan labl ormas lagi. Kembali stelan pabrik, usai terdesak ya mangap, eh maaf dan menyesal.

Perilaku yang akan terus terulang karena penyelesaian yang begitu-begitu saja, tiada efek jera, tidak punya rasa malu. Integritas itu menjadi penting bagi anak bangsa ini dalam hidup bersama. Miris

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan