FEATURED

Menkeu: Gaji Guru Jangan dari Negara Semua

Menkeu: Gaji Guru Jangan dari Negara Semua

Malah Nambah Kodam Baru, Banyak

Menkeu memang pusing, defisit anggaran sangat besar. Salah satu opsi yang ia nyatakan adalah gaji guru, sebisa mungkin bukan hanya dari negara. Lha apa bedanya dengan swasta. Padahal pungutan pun sudah ngaco kalau sekolah negeri. Belum diminta “menggaji” guru saja sekolah sudah banyak masalah, jika tambah gaji guru apa tidak tambah ruwet.

Nah, layak diulik lebih lanjut, beberapa hal yang menarik berkaitan dengan keuangan negara;

Pertama, jika defisit, kemudian ada program efisiensi, kog malah nambah Kodam, padahal itu berarti menambah batalyon, prajuritnya, dan itu uang semua. Keadaan sudah aman, mengapa harus ada teritorial lagi. Barak saja lebih dari cukup. Ide yang sebenarnya tidak cukup relevan, belum lagi tunjangan-tunjangan yang harus negara tanggung.

Kedua, jika guru mau “diswastanisasi” karena uang negara cupet, mengapa nambah tentara yang secara fungsional tidak sepenting guru. Dunia Pendidikan saja kacau, malah mikir pertahanan yang tidak ada serangan fisik lagi. Jauh lebih penting guru dan kesejahteraannya lho.

Ketiga, sekolah-sekolah kedinasan yang berjibun, sering susah diakses masyarakat biasa. Lebih banyak diisi oleh anak-anak pejabat, baik birokrat, militer, atau polisi, anggaran negara lagi. Berapa besar uang untuk itu, padahal kebanyakkan bapaknya sudah gede gajinya. Bagaimana distribusi uangnya yang sangat tidak jelas apalagi proporsional.

Keempat, inefsiensi di berbagai lini, terutama BUMN, namun rakyat lagi yang harus membayar. Lihat saja gaya hidup manajemen BUMN, sekelas pegawainya saja demikian, apalagi pejabat terasnya. Gajinya sering di luar nalar, padahal mengaku rugi.

Pendapatan negara dominan dari pajak, padahal sumber daya alam negeri ini melimpah. Sering gembar-gembor terbesar di dunia, namun kog menyumbang pemasukan negara sangat kecil. Lari ke mana yang lain? Lakukan efiseinsi dan normalisasi BUMN dulu, baru bicara gaji guru. Seharusnya gaji guru yang dibesarkan, sehingga pendidikannya menjadi bagus.

Kelima, program-program populis yang tidak tepat sasaran itu menggerogoti anggaran negara. Cek saja ke  lapangan, bagaimana makanan bergizi ke lansia itu diberikan pada yang mampu, padahal masih banyak yang kekurangan. Ini masalah pendataan, dan susahnya mengubah data, pathok bangkrong yang membuat perselisihan tidak bermutu. Perbaikan ini lebih mendesak.

Keenam, sekolah saja sudah membuat megap-megap anggaran negara, malah membuat Sekolah Merah Putih yang seluruhnya ditanggung negara. Lha apa tidak lebih parah untuk keuangan negara lagi? Program tumpang tindih yang begitu banyak, namun tidak pernah diselesaikan.

Ketujuh, banyak Pembangunan yang dirancang hanya untuk proyek, Menteri, anggota dewan untuk timsesnya. Periode lalu Kemenaker membuat banyak BLT dengan anggaran sampai satu milyar pertitik, di lingkungan yang saya lihat, satu kilometer persegi ada tiga BLT yang “tidak” produktif. Mana evaluasi?? Pastinya tidak ada.

Kedelapan, minimnya evaluasi, hasilnya uang ke mana, jadi apa, bagaimana dampaknya, seolah tidak pernah ada. Uang keluar terus, namun tidak memberikan dampak baik untuk hidup bersama sebagai negara. miris.

Mendesak, negara untuk hadir secara nyata, berfikir holistik, dan  tidak sekadar menyenangkan pemilih dengan program-program yang kadang ngaco. Belum lagi  bagi-bagi uang dan proyek yang tidak berdampak, selain menyenangkan kelompoknya.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *