Tepuk Tangan, Musa, dan Politisasi Agama yang Makin Ngaco
Entah apa yang ada di benak Abdullah Hehamahua, dalam salah satu pernyataannya ia melarang kader partai untuk bertepuk tangan. Katanya itu bukan budaya Islami, namun budaya Yahudi. Lebih aneh lagi, ketika ia mengaku bak Nabi Musa yang mengunjungi Firaun. Apakah Musa bukan Yahudi, atau entah apa yang jadi pertimbangan.
Ada kontradiksi, paradogsal, dan bahkan mungkin, maaf munafik. Ketika sama-sama Yahudi karena menguntungkan dipersepsikan sama, namun pada konteks lain dijadikan acuan untuk melakukan perilaku yang bertolak belakang.
Lagi-lagi ini permainan politik, bukan agama. Mana ada agama memecahbelah dan memisahkan kemanusiaan. Tokoh agama, Utusan Tuhan itu biasanya diperintahkan untuk memperbaiki kerusakan. Nah ketika malah pengikutnya menganjurkan kebencian, benar atau tidak?
Jelas ini perilaku tamak, rakus, dan gila kekuasaan yang dikemas dengan label agama. Laris manis di tengah arus masyarakat malas membaca, dan mabuk agama. Kemarin ada berita mengenai betapa malasnya masyarakat membaca. Pada angka satu dari 1000 penduduk yang gemar membaca. Akhirnya tahu mutu bangsa ini.
Sama sekali bukan bicara agama. Mana bisa sih agama dan politik dijadikan satu di dalam sebuah keyakinan. Politik, suka atau tidak, adalah encari kekuasaan. Sedikit banyak, atau dominan atau tidak, tentu masih bisa menggunakan cara-cara kotor.
Nah, ketika agama juga dikelola demikian, bagaimana kesucian agama didegradasikan menjadi alat politik. Di sanalah puncak dari perendahan agama yang hakiki,
Pilkada juga demikian. Ada memang kesuksesan itu, Jelas prestasi paling gede pilkada 2017 Jakarta. Hasilnya sudah terlihat dan itu justru menjadi pembelajaran bersama bahwa pemilihan primordial dan sangat sektarian berujung pada kerusakan.
Rakyat makin cerdas, eh mereka makin culas dan maaf bodoh, sehingga tidak membaca fenomena. Semua itu makin tidak tenar dan tidak laku.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan
Ulasan yang keren.
Terima kasih Suster
Salam hangat