Politik

Sri Mulyani dan Akhir Seorang Profesional

Kabinet Nantinya Hanya Orang Politik

Pergantian kabinet  “menendang” Menkeu Sri Mulyani, usai pidana menjerat Tom Lembong dan Nadiem Makarim. Lebih lama ingatan kita perlu disegarkan dengan pengalaman Jonan, Archandra, atau Terawan. Mereka profesional dan memberikan harapan perubahan. Namun malah ketendang.

Dapat dibandingkan dengan keberadaan para pemain politik kelas kakap sebagaimana Zulhas, Gus Imin, atau Airlangga. Mereka sering terdengar nyaring dipanggilan KPK, namun tidak juga terdepak dari kabinet,  malah sering promosi ke jabatan yang lebih prestisius.

Profesional versus Politikus

Menteri itu seharusnya jabatan profesional. Benar bahwa presiden jabatan politik. Nah pembantu presiden idealnya lebih banyak yang professional dari pada orang politik. Faktanya di negara Indonesia lebih banyak orang politiknya. Lihat saja Menteri koordinator, semuanya ketua umum parpol.

Dampaknya adalah ketika ada masalah hukum, penyelesaiannya politis. “Ancaman,” tidak lagi mendukung pastinya presiden panik. Penyelesaian kasus hukumnya ya tahu sama tahu, tidak lagi dengan pasal pidana. Itulah yang membuat penegakan hukum terjadi sangat lemah, saat berkaitan dengan orang politik.

Lihat saja, jika itu menyangkut orang profesional, kalau tidak ditangkap polisi, kejaksaan, KPK, ya dicopot begitu saja. Mana ada pembelaan atau dukungan. Mirisnya mereka ini jago dalam bekerja, dibandingkan dengan orang politik yang sejatinya cuma cengengesan tanpa hasil. Bandingkan apa yang telah dihasilkan Zulhas, Imin dengan capaian Sri Mulyani, Terawan!

Profesional Kapok

Ngeri jika demikian. Mengapa? Karena nantinya dewan jelas orang politik, Menteri orang politik, padahal mana bisa percaya dengan kinerjanya. Mereka akan “berkolaborasi” dalam hal-hal yang menguntungkan mereka. Lihat saja rekam jejaknya selama ini, bagaimana ketika legeslatif dan eksekutif berdasar dari partai yang sama. Ingat ketika Menteri ESDM dan ketua komisi yang membidangi itu dari si merci bukan?

Profesional akan jerih- takut duluan, menghadapi sergapan sangar di gedung dewan, atau takut terkena jebakan pidana. Mereka enggan menjabat, dan akhirnya ya akan dihuni oleh para petualang dan kelas pecundang yang berasal dari partai politik. Belum cukup banyak orang politik yang bisa bekerja dengan baik di pos-pos yang membutuhkan keahlian profesional.

Apa iya, negara dibiarkan dikelola oleh mafia, para amatiran, dan juga petualang yang hanya tahu kursi namun tidak paham tanggung jawab dan kerjaan mereka? Lihat saja berapa banyak orang politik yang kerjanya bener!

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *