Apa Salah Vaksin Berbayar?

Presiden Jokowi sudah membatalkan adanya vaksin berbayar. Buyar sudah angan-angan orang yang enggan antri dan tidak ribet untuk mendapatkan vaksin. Di lapangan, vaksin gratis itu sangat tidak mudah, khususnya yang umum, bukan golongan tertentu.

Nakes, guru, polisi-militer, dan pelayan publik sih mereka dengan segala prioritas tidak usah khawatir dan bingung. Toh di negeri ini banyak kalangan, seperti saya ini, mana masuk hitungan, syukur bahwa ada rekan yang mendapatkan kesempatan dan bisa berbagi link dan sudah mendapatkan vaksin.

Masih demikian banyak kelompok yang terdiri atas individu yang sangat susah untuk mendapatkan akses. Menjadi masalah, ketika ada orang yang mampu, bisa membeli itu, namun tidak ada yang dibeli. Barang tidak tersedia, hanya karena egoisme, segelintir elit tamak jabatan.

Masalah dan perlu menjadi keributan adalah, ketika barang yang dibagikan gratis itu sebagian dijual. Artinya jatah untuk warga yang seharusnya gratis tersingkirkan. Ini memang benar masalah. Toh selama ini tidak ada kondisi demikian. Benar, bahwa belum terjadi.

vaksin

Ribet memang, ketika pandemi dijadikan lahan dan kesempatan oleh politikus kerdil jiwa dan raga untuk bisa bersaing dengan sehat. Apa salahnya juga berbayar dan dibayarin negara? Toh dalam hidup bersama, selama ini hal demikian begitu banyak contoh.

BPJS, toh ada yang berbayar, mandiri, dan ada yang ditanggung negara, dan itu sudah berjalan sekian lama. Mereka buta atau pura-pura tidak tahu? Naif.  Toh masih juga banyak yang menggunakan asuransi mandiri. Apa pemerintah juga dituduh gak mampu. Otak, mana otak.

Angkutan pun demikian, yang mampunya bayar kapal, mengapa harus iri pada yang mampu beaya tiket pesawat. Kan aneh, bangsa makin ngaco karena kepentingan politik orang tamak, bayarin orang-orang untuk bernarasi tidak logis.

Sekolah negeri dan swasta sejak zaman dulu juga ada. Toh negara membeayai sekolah negeri, yang swasta bayar mahal juga orang mau, karena memang wajar. Kurang ajar ya yang menarasikan vaksin berbayar salah.

Demokrasi, namun otaknya selalu homogen. Maunya sosialis untuk urusan uang dan bantuan. Kehidupan lain liberal. Ini otak memang sudah konslet. Mabuk agama dan politik membuat orang tidak jernih. Katanya kritis, tapi sejatinya bebal.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply