Arogansi Polisi, Senpi, dan Keamanan Diri
Arogansi Polisi, Senpi, dan Keamanan Diri
Beberapa pemberitaan media menyiarkan khabar, bahwa polisi menembak, memilih kata langsung karena memang kejadiannya demikian. Menembak terduga penjahat di depan anak dan istrinya. Bisa diduga tidak ada perlawanan yang membahayakan dirinya sebagai petugas. Menembak siswa sekolah yang dikatakan genk motor, dan kejadian menembak koleganya hingga meninggal. Ketiganya menggunakan senjata api dan sampai tewas, kelihatannya juga bukan dalam konteks membela diri dari keadaan terdesak oleh penjahat.
Namun, terlalu naif jika berbicara mengenai terorisme dan UU yang berkaitan dengan itu. Sangat beresiko karena terlalu berbahaya bagi aparat negara. Apa iya akan menyerahkan anggota Masyarakat untuk mati sia-sia dalam membela negara? Tidak sepadan jika bicara ada oknum yang menembak dengan sembarangan.
Jauh lebih realistis adalah:
Pemeriksaan berkala, psikolog ataupun psikiater untuk para pemegang senjata api. Tidak hanya sekali pas mau memperoleh lisensi saja. Catatan lagi, ujiannya dengan sungguh-sungguh, bukan sekadar asal teman dan amplop yang membuat lulus.
Asumsi amplop yang membuat lulus ini bukan ngaco atau isapan jempol. Lihat, bagaimana perilaku korup, KKN, dan tahu sama tahu itu demikian kenceng di sekitar kita. Mulai dari rekrutmen saja banyak masalah.
Pemegang senpi terbatas. Polisi antiteror, Brimob, antinarkoba, jika hanya sekadar pentungan ya akan mati konyol. Terbatas, jika hanya mengejar tawuran masih bisa diterima akal sehat komandan lapangannya yang menggunakan senpi dengan sangat ketat peruntukan dan juga ujiannya sebagaimana di atas.
Sering ada ledekan bahwa polisi di sini sangat lihat menembak, mengarah kaki tapi kena kepala. Ini olok-olok yang mau mengatakan bahwa ngawur dan kemampuan menembaknya buruk. Apalagi sekarang malah menembak dengan ngaco atas keadaan yang sangat mungkin tidak membahayakan. Perlu diingat juga kasus yang sangat heboh Sambo yang menewaskan ajudannya sendiri. Toh sampai sekarang tidak jelas juga alasannya mengapa.
Membangun citra dan wibawa polisi humanis, bukan gagah karena senpinya. Kepercayaan public bukan takut karena pistolnya. Masyarakat yang merasa terayomi jauh lebih penting dari pada sekadar takut melihat polisi, sebagaimana pengendara kendaraan bermotor takut ada polisi lalu lintas.
Berani bertanggung jawab. Selama ini atas nama cinta korp namun ngaco. Lembaga tidak salah, namun orangnya bisa keliru. Akui dengan jujur jika ada anggotanya yang melanggar, jangan tutup-tutupi dengan aneh-aneh, bahkan ngaco.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan