Cadar, Kala Memahami Agama dengan Irrasional
Bangsa ini sedang sakit dalam menyikapi hidup bersama. Dikit-dikit penistaan, bakar, bunuh, dan hukum. Darahnya halal, hanya sekadar berkomentar mengenai toa dan pakaian, atau atribud agamis. Sama sekali bukan mengenai dogma atau ajaran yang sejatinya menjadi inti sebuah agama.
Kemarahan khas anak-anak yang diperparah dengan tekanan massa dan publik, apalagi dipolitisasi telah menjadikan cara beragama menjadi kerdil. Mengapa mengatakan politisasi? Sebelum era reformasi, candaan, bahkan teguran berkaitan dengan agama biasa-biasa saja. Tidak ada orang berante karena agama.
Nah, usai reformasi memang ada arus baru cara beragama. Ingat, cara beragama, bukan agamanya. Agamanya tetap, namun pribadi, ormas, dan cara beragamanya mulai bergeser. Cenderung menguat untuk menonjolkan sisi labeling, sisi asesoris, pada ranah yang lahiriah. Pakaian, istilah, pilihan budaya, dan sejenisnya.
Mengenai esensi manusia yang lebih welas asih, menghormati Pencipta dan ciptaan malah makin jauh. Miris, karena Arab sebagai pusat agama saja tidak demikian. Mereka makin terbuka dan menatap ke depan.
Salah satu keprihatinan itu adalah penggunaan cadar. Ini bukan agama, namun budaya, di mana budaya gurun yang penuh dengan debu, perlu perlindungan ekstra. Apapun agamanya, ketika di kawasan seperti itu perlu namanya cadar.
Celaka, ketika itu dikaitkan dengan kualitas beragama. Beragama yang baik, jaminan surga itu yang memperlengkapi dengan cadar. Masalah timbul ketika orang “jahat” dan bermaksud jahat menggunakan itu sebagai sarana untuk melancarkan perilaku buruk mereka. Ingat, ini bukan soal agama, namun cara beragama dan cara orang berperilaku.
Dua kisah yang sangat menarik berkaitan dengan ini;
Dalih yang akan membuat petugas “ketakutan” adalah penistaan agama. Hal yang jauh lebih ngeri dari covid atau diterkam macan.
Kini, sangat baru, seorang laki-laki, pengidap covid bisa terbang dari Jakarta ke Ternate dengan surat bebas covid, kartu tanda penduduk, dan kelengkapan lain milik istrinya. Jelas mengerikan. Berapa potensi penumpang, kru pesawat yang bisa terpapar selama penerbangan yang cukup panjang itu.
Pesawat itu sempit, pasti berpendingin ruangan, dan orang itu tetap bisa berlaku demikian. Petugas bandara pasti takut dengan tudingan penistaan agama, jika meminta untuk membuka atau menampilkan wajahnya.
Masalah yang bisa menjadi sangat besar, jika penyelesaian nanti hanya mengatakan khilaf, maaf, dan cemban selesai. Berapa banyak nyawa terancam dan ada orang seegois itu dan tidaka da pertanggungjawaban.
Terlalu lemah dalam banyak hal. Labeling penistaan agama, yang sangat murah, apalagi ketika itu dominasi terbesar yang melakukan. Pancasila masih terlalu jauh diamalkan oleh banyak pihak di negeri ini.
Harapannya, ada penegakan hukum yang sangat setimpal dengan konsekuensi yang harus ditanggung banyak pihak. Orang-orang yang tidak bersalah, penumpang dan kru, hanya karena egoisme penumpang dan abai karena takutnya petugas.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan