Lukas Enembe Ditangkap

Menarik, pada awal Januari Gubernur Papua yang begitu digdaya akhirnya ditangkap juga oleh KPK. Pergerakan pendukungnya membuat KPK serba susah. Antisipasi perusakan aset negara dan juga bisa jadi kerusuhan yang meliar, pelan-pelan akhirnya kena juga.

Publik  tentu ingat, bagaimana licinnya Setya Novanto. Berbagai-bagai kasus korupsi, selalu saja mental, bahkan bisa bertengger menjadi Ketua DPR RI.   Jabatan yang diemban sebanyak dua kali pula. Ini luar biasa.

Mengapa sih, kasus korupsi begitu susahnya mengungkap, dan menangkap, kemudian memvonis dengan hukuman sangat berat?

Pertama, mereka tentu tidak bekerja sendirian. Aliran uangnya ke mana-mana, paling tidak memperkuat jaringan, jika kudu berurusan dengan penegakkan hukum. Lihat saja bagaimana hakim agung, orang KPK, polisi, atau jaksa banyak yang terkena kasus hukum, utamanya kasus maling ini. penyuapan.

Apa yang tersaji, itu pasti menjadi fenomena gunung es, di mana lebih banyak, jauh lebih banyak yang tidak terungkap apalagi tertangkap. Apalagi jika bicara sampai vonis yang membuat jera.

Kedua, hukuman untuk maling jenis ini sangat minim. Lihat saja, susah-susah KPK menangkap, nanti ujung-ujungnya juga divonis empat tahun, dipotong remisi, bahka banding diberi potongan banyak-banyak.

Susah, pesimis mendengar dan membaca penangkapan, toh nantinya vonisnya juga sangat ringan. Memperbaiki peradilan itu sangat mendesak. Jangan sampai capek-capek menyelidiki, menyidik, dan menangkap, eh hukumannya sangat ringan.

Ketiga, pemiskinan tidak terjadi. ingat, penolakan anggota dewan terhadap inisiatif pemerintah untuk menyita aset maling jenis ini.  Susah, ketika uang mereka masih banyak, bisa menyewa pengacara handal, uang suap meleber ke mana-mana, dan akhirnya hukum hanya sandiwara.

Keempat, teriakan hukuman mati bagi maling jenis ini, tidak ada gaungnya. Mengapa? Ya karena para pembuatan UU itu ketakutan sendiri, di mana mosok mereka mau menyiapkan tiang gantungan untuk leher mereka.

Mereka ini paham, bahwa dunia yang mereka geluti itu bergelimang dengan uang malingan. Jika mereka benar-benar bersih dan mencintai negeri ini tentu tidak akan takut.

Kelima, penghormatan masyarakat atas kekayaan. Tidak peduli hasil maling, kekayaan dari usaha jelek sekalipun, mereka tetap menghormati. Lihat, massa Lukas Enembe dan juga maling lainnya yang membela masih   begitu banyak.

Keenam, konsep maling, korupsi, belum sepenuhnya menjadi musuh bersama. Ketika sudah menjadi lawan masyarakat, harapan korupsi minim bisa terwujud.

Ketujuh, pencucian uang sering juga masuk ke lembaga-lembaga agama. Jadi, lembaga keagamaan ini jarang bersuara lantang memberikan kutukan pada maling jenis ini. Padahal dengan maling jemuran atau ayam, mereka galaknya minta ampun.

Kedelapan. Pendidikan, pendidikan  masih kental dengan aroma maling jenis ini. Suap, menyontek, naik jabatan dengan kolusi dan kesamaan kawan atau parpol demikian kencang. Mau berteriak maling dari mana jika demikian?

Kesembilan, kreatifitas pada ranah yang buruk. Lihat, Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah menemukan pungutan uang sekolah di Sekolah Dasar Negeri dengan istilah keagamaan. Menggunakan terminologi sodaqoh, bukan iuran atau membayar, dan dianggap benar. Padahal salah.

Sepanjang poin di atas belum dibenahi dengan baik, jangan harap maling jenis ini akan berkurang. Apalagi pemimpinnya menggunakan cara-cara maling pula.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply