Novel Baswedan yang Lupa Daratan
Beberapa waktu lalu, ada tahanan yang meninggal dunia. Hal yang wajar, namun karena ada identitas yang bisa dipermainkan sebagai alat politik, segera saja riuh rendah dengan narasi politis. Alharhum Maher atau Soni meninggal karena sakit. Ada upaya pihak lain yang bertujuan mendiskreditkan pemerintah, kepolisian, ada penganiayaan.
Keluarga sendiri sudah ikut membantah. Toh akan mudah dipatahkan, paling dibayar dan sebagainya. Hal yang sangat biasa dalam alam demokrasi kita yang masih cukup dini dan model akal-akalan. Mudah menuding enggan bertanggung jawab. Mengaku demokratis tetapi tidak bersikap demokrat dan malah cenderung laknat.
Fakta lain yang mudah menilai bahwa ia meninggal dengan normal, wajar, dan tidak ada hal yang aneh adalah ia beberapa kali tampil biasa kemudian tidak sadarkan diri dan ada dalam perawatan. Sangat mudah dicek melalui media pencarian, sangat mudah ketemu. Narasi kekerasan oleh polisi dengan mudah terbantahkan.
Pihak lain membesar-besarkan narasi kalau almarhum meninggal karena vaksin covid. Pemaksaan yang membuat meninggal. Ini sih menyasarnya dua sekaligus, satu soal orang meninggal karena vaksin, padahal sedang gencar-gencarnya pemerintah kampanye vaksin. Toh sebagian pihak memang sedang mengagendakan hal itu, menolak vaksin. Ada momentum.

Soal lain, jelas karena mau menegaskan kalau polisi melakukan kekerasan, pada ulama pula. Hal yang dijadikan tema besar bertahun-tahun namun selalu gagal. Toh masih saja ada yang percaya dan terus menjadikan itu sasaran bagi pemerintah.
Penjelasan resmi polisi yang merahasiakan kematian alharhum demi nama baik keluarga, pun malah menuding polisi macam-macam. Sebenarnya sih kelompok yang itu saja itu saja, itu lagi-itu lagi. Kelompok atau barisan sakit hati, kelompok eksHTI dan eksFPI, dan kisaran mereka-mereka saja.
Menarik ketika itu yang berujar adalah Novel Baswedan. Jangan lupa ia juga bekas polisi. Jangan pula lupa Novel terkena kasus meninggalnya tahanan. Nah apakah boleh dibalik bahwa karena Novel suka kekerasan maka polisi inipun melakukan hal yang sama. Sangat logis, karena pakaian akan diukurkan pada badan sendiri bukan pada tubuh orang lain.
Kedua, lebay, Novel itu sudah keluar dari kepolisian dan menjadi pegawai KPK. Tidak ada urusan dengan polisi yang sedang menyelesaikan kasus almarhum. Yang ditahan itu kasus pidana bukan kasus korupsi. Ia tidak pada proporsinya berkomentar, kecuali berkaitan dengan ideologi pribadi. Lepas dari kapasitas dan profesinya saat ini.
Ketiga, kepolisian itu bukan lagi lembaga model lama, yang bisa berlaku sewenang-wenang. Ada Komnas HAM. Lihat pengalaman kematian enam laskar FPI. Komnas HAM bekerja keras dan membuktikan bahwa polisi berlaku dalam koridor yang masih normal. Toh mereka juga tidak percaya.
Pihak intern ada propam, pengawasan yang tentunya tidak akan sama dengan model lampau. Mereka tentu bekerja dan mengawasi kinerja polisi dengan ketat. Berlebihan dan tendensius ketika ada tudingan kekerasa pada alharhum.
Keempat, tahanan ini memiliki posisi yang sangat strategis, bodoh dan ngaco kalau polisi berani sedikit saja berlebihan di dalam menangani tersangka. Jika ada kekerasan, pengacara tentu sudah teriak sejak lama. Apa iya sekali pukul langsung mati, tanpa sempat pengacaranya tahu dan membeberkannya pada media. Ini lagi-lagi sangat strategis banyak pihak yang mendapatkan keuntungan jika dijadikan berita.
Kelima, fisik almarhum juga sangat lemah. Jauh sebelum itu pun sudah terlihat, hanya karena gaya bicara melotot dan ngotot orang mengira ia kuat. Nah apa iya melihat posisi seperti itu polisi main kekerasan, kan konyol. Emang tidak ngeri apa, ada orang mati di tangan kita, meskipun ada di balik UU.
Kesimpulannya adalah, ini ngaco, tudingan ngawur, tanpa dasar, dan tendensius demi kepentingan pribadi atau kelompok. Tidak berlebihan jika ini hanya berkaitan dengan ideologi ultrakanan yang sangat mungkin menjadi pegangannya.
Yang dibela biasa bernarasi soal ideologi ultrakanan. Aneh jika bukan karena ideologi kemudian membabi buta bahkan malah menyalahkan institusi yang sudah memberikannya pelajaran dan hidup.
Kasus di Bengkulu layak dibuka kembali. Melihat rekam jejaknya yang memang tidak benar. Aneh ketika ia menuding kekerasan yang tidak ada. Sangat mungkin ia memiliki pola pendekatan dalam menegakkan hukum juga dengan kekerasan.
Sangat terbuka kesempatan untuk itu, karena polisi diawasi banyak lembaga dan sudah menyatakan baik-baik saja, kini saatnya yang menuding ganti diperiksa. Akan sangat mungkin ngeles dengan dalih dipelintir media, bukan itu maksudnya, atau paling-paling juga antikritik. Ini bukan soal antikritik, berani tidak bertanggung jawab atas tudingannya? Jangan munafik.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan