Politik Anies Baswedan dan Laku Kitten

Kemarin sore, pas makan pelet, tiba-tiba abang si kitten membawa tikus di mulutnya. Eh adiknya yang asyik nyemil pelet murahan langsung paham ada daging segar dari kebun. Ia rebut dan langsung dimakan. Menggeram seolah tangkapan sendiri.

Usai kenyang, sisi daging dan kulit serta ekornya dijadikan mainan. Dilempar ke sana ke mari, dengan riang dan egoisnya. Saudaranya mendekat suara menggeram, lha yang nangkep saja juga diraungin dengan songong. Maknya yang masih netekin juga dihadapi dengan cara yang sama.

Lha malah jadi ingat politikus yang sukanya lempar tanggung jawab. Tapi pas keadaan baik dan enak, berhasil maju paling depan untuk mengaku dan kampanye bahwa hasil kerja kerasnya memberikan dampak dan hasil bagus. Padahal publik juga paham siapa yang bekerja.

Beberapa kali terlihat dengan jelas model berpolitiknya mirip dengan laku kitten yang kadang lucu sekaligus menjengkelkan. Asyik yang juga sekalian menjengkelkan.

Pandemi

Getol membuat kebijakan yang malah membuat kerumunan kala pemerintah dan satgas pusat itu memilih PSBB, eh malah mengurangi jumlah kereta yang beroperasi, sehingga timbul kerumunan. Pas ada bantuan sosial, jumlahnya begitu besar, pas ditanya Wapres Makruf Amin, datanya dari mana tidak jelas. Eh minta pusat yang membayarkan dananya.

Tahu apa yang terjadi, ketika pandemi mengalami penurunan dan bahkan menjadi landai, tiba-tiba mengaku kalau ini adalah kerja keras timnya.  Galak pada pemerintah pusat yang sudah  membantu segala-galanya.

Stadion BMW

Kerja lintas  gubernur, bukan hanya satu masa jabatan, tetpi seolah-olah hanya dilakoni oleh yang menggunting pita. Peresmian, itu kan hanya sebuah seremoni, yang  mengabaikan begitu banyak proses yang sudah berjalan.

Bagaimana pembebasan lahan, pembangunan, dan pembeayaan. Seolah berdiri dengan gagah meresmikan, padahal hari-hari sebelumnya, lagi-lagi minta bantuan pusat. Seolah-olah hal yang gede sebagai prestasi gubernur.

Klaim itu gampang, tinggal andalkan muka tebal, ada pendukung yang menggelontorkan dukungan, seolah-olah itu kebenaran. Sebuah satire dari kisah Abu Nawas.

Soal topi dan surga. Abu Nawas berkisah topinya   mampu memperlihatkan surga. Syarat yang bisa melihat surga itu orang yang beriman. Nah terjadi pro kontra antara yang tidak melihat dilabeli tidak beriman dan yang melihat seolah benar-benar beriman.

Yang mengaku tidak melihat dan dicap tidak beriman banding ke sultan, apa yang terjadi? Sultan   dilema, dan akhirnya ikut arus dominan. Melihat surga jadi pilihan logis daripada dicap tidak beriman.

Kebenaran itu tidak kenal pangkat, kekuasaan, atau jabatan, tetapi bagaimana berani bersuara benar adalah benar. Tidak soal banyak atau sedikit.

Salam penuh kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply