Surat Gembala Prapaskah 1997, Kesaksian Rama Magnis, dan Suara Kenabian

Surat Gembala Prapaskah 1997, Kesaksian Rama Magnis, dan Suara Kenabian

Publik mungkin banyak yang tidak tahu, sudah lupa, atau mungkin lupa-lupa ingat. Pada menjelang Paskah 1997, KWI memberikan sebuah himbauan, dalam sebuah Surat  Gembala Prapaskah, beberapa butir pernyataan. Pemeritah saat itu terhentak dengan kalimat, tidak memilih itu juga sebuah pilihan, golput (golongan putih) tidak haram.

Istilah golput atau tidak memilih itu istilah yang sangat dibenci Presiden Soeharto, selaku penguasa Orde Baru. Satu rangkai dengan keengganan KWI dan Gereja Katolik untuk mengumpulkan emas untuk membantu negara yang sedang menghadapi badai krisis yang luar biasa.

Begitu riuh rendah, ingat persis waktu itu ada di masa akhir kuliah, masih semangat-semangatnya untuk   diskusi ini dan itu bersama di Wisma Mahasiswa Katolik, narasumbernya almarhum Mgr Pujaraharja.  Beliau mengatakan bahwa memberikan masukan kepada Julius Kardinal Darmaatmodja tidak sekeras itu. Mereka, para imam dan uskup kaget dengan pernyataan yang luar biasa keras.

Diskusi demi diskusi di aula gereja dan wisma mahasiswa begitu mencekam, satu demi satu harus memperkenalkan diri dengan sangat jelas, karena intel mengintai.  Begitu mencekam, internet kala itu masih begitu mahal dan belum merakyat sebagaimana saat ini.  Apa yang  kami terutama saya rasakan malah bangga Gereja Katolik menyuarakan itu dengan lantang. Tidak ada nada ketakutan, malah seolah ikut di sana, dan tidak cukup lama kekuasaan Orde Baru tumbang.

Kini, keadaan sungguh berbeda. Ketika Rama Magnis menyuarakan pendapat berdasar keahliannya di forum MK, malah dicaci, dikatakan salah kamar, rama kog berpolitik praktis, malah ada yang menyebutnya menjadi buzzer. Mirisnya pernyataan-pernyataan itu ada di antaranya adalah mahasiswanya.

Kondisi memang berbeda. Sekarang, semua bisa bersuara, bahkan tanpa dasar asal berbeda sudah teriak dan mengatakan pihak lain sangat buruk. Tanpa dasar yang memadai untuk memberikan penilaian dan penghakiman.  Bermodal analisis dari media sosial atau membaca pernyataan pihak yang satu kubu, langsung  menuding Rama Magnis sebagai pembuat onar.

Ada pula yang menyatakan, apakah tidak membahayakan Gereja Katolik di depan pemerintahan mendatang? Jauh lebih tragis lagi model umat beriman model demikian. Bagaimana bisa kebenaran dipertaruhkan hanya karena takut pada kekuasaan? Hal yang mengabaikan Paskah yang baru saja terjadi.

Kini, ancaman intel tidak ada, minimal tidak sehoror 97-98, namun malah pada jerih atas suara kenabian yang demikian lantang.  Selayaknya kita berbangga bahwa keberadaan Gereja Katolik tidak hanya megah di bangunan, namun juga mengenai suara hati.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan